Jumat, 21 Agustus 2015
Dodit Mulyanto waktu Live di UMS nde :) hujan deras semakin sweet hahaha
Sabtu, 15 Agustus 2015
“Kepribadian Tokoh Delisa dalam Novel Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye: Kajian Psikoanalisis”.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebagai
suatu karya kreatif dan imajinatif, karya sastra merupakan hasil olah pikir
pengarang dan pengarang dapat menghadirkan tokoh-tokoh yang mewakili perilaku
manusia yang beraneka ragam. Objek sastra adalah manusia dan segala
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Fungsi
karya sastra salah satunya adalah untuk mencerminkan kehidupan manusia yang
selalu mengalami perkembangan. Bentuk karya sastra tersebut salah satunya
berupa fiksi (novel). Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter,
situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit
karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara
lebih mendetil.
Pengarang
banyak mengangkat permasalahan-permasalahan tertentu di dalam novel yang
ditulisnya. Salah satunya adalah permasalahan kejiwaan (psikologi) para
tokohnya. Oleh karena novel banyak mengangkat masalah kejiwaan tersebut, maka
hal-hal yang berhubungan dengan kejiwaan tokoh sangat menarik untuk dianalisis.
Salah satunya ialah dengan kajian psikonalisis yang merupakan bagian dari
psikologi.
Istilah
psikonalisis ini pertama kali diungkapkan oleh Sigmun Freud dalam teori
kepribadian yang lebih dikenal dengan istilah psikoanalisa. Teori kepribadian
terdiri dari tiga aspek, yaitu id, ego, dan
superego. Melalui kajian tersebut,
Freud berhasil menyimpulkan hasil riset yang abadi dan mengilhami para
peneliti.
Masalah
kepribadian tokoh akan dibahas oleh peneliti, khususnya kepribadian tokoh
Delisa sebagai tokoh utama dalam novel Hafalan
Shalat Delisa karya Tere Liye. Kajian kepribadian tersebut mencakup tiga
spek yaitu Id, Ego, dan Superego seperti teori yang dikemukakan
oleh Sigmund Freud.
Berdasarkan
penjabaran di atas, maka peneliti akan melakukan sebuah penelitian yang
berjudul “Kepribadian Tokoh Delisa dalam Novel Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye: Kajian Psikoanalisis”.
B.
Identifikasi Masalah
Pembatasan
masalah dalam sebuah penelitian diperlukan agar penelitian yang dilakukan dapat
tepat sasaran dengan hal yang akan dianalisis. Sebuah penelitian harus dibatasi
ruang lingkupnya agar wilayah kajiannya tidak terlalu luas. Pembatasan masalah
dalam penelitian ini adalah analisis struktur novel Hafalan Sholat Delisa karya Tere Liye yang berupa tema, tokoh,
penokohan, alur, gaya bahasa dan latar, serta
kepribadian tokoh Delisa dari aspek id,
ego, dan superego dalam novel Hafalan Shalat Delisa.
C.
Rumusan
Masalah/ Fokus Penelitian
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
struktur pembangun novel Hafalan Shalat
Delisa karya Tere Liye?
2. Bagaimana
kepribadian tokoh Delisa dalam novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye
ditinjau dari psikologi sastra?
D.
Tujuan
Penelitan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Memaparkan
struktur pembangun novel Hafalan Shalat
Delisa karya Tere Liye.
2. Memaparkan
kepribadian tokoh Delisa dalam novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye ditinjau dari psikologi sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Struktur
Novel Hafalan Sholat Delisa Karya
Tere Liye
Berikut
akan dijabarkan mengenai struktur novel Hafalan
Shalat Delisa karya Tere Liye yang meliputi tema, alur, penokohan, dan
latar/setting.
1.
Tema
Tema
novel Hafalan Shalat Delisa ini
adalah pengorbanan dan kerja keras yang dilakukan oleh seorang anak perempuan
berusia 6 tahun dalam menghafal bacaan sholat yang bernama Delisa. Novel ini
mengisahkan mengenai keihklasan dan ketegaran hati Delisa yang mengalami bencana
dahsyat Tsunami pada tahun 2004. Dalam sekejap, bencana sudah meluluhlantakkan
kota Lhok Nga dan menewaskan ratusan orang termasuk umi dan kakak-kakak Delisa
yang terbawa gelombang tsunami. hal tersebut dapat dilihat dari kutipan
berikut.
Sore itu mereka mengumpulkan ratusan
tubuh. Sayangnya tak ada satupun yang ditemukan masih bernafas. Tidak ada.
Bagaimana mungkin keajaiban itu ada? Lhok Nga hampir 80 % musnah. Kalaupun ada
yang selamat, karena sedang beruntung berada di manalah (Hafalan Shalat Delisa, 2008:101).
2.
Alur
Berikut merupaka alur yang terdapat dalam novel Hafalan Sholat Delisa.
a. Tahap
Penyituasian (Situation)
Tahap
penyituasian dalam novel Hafalan Shalat
Delisa terdapat pada bagian ketika Delisa ingin menghafal bacaan sholat
agar mendapatkan hadiah kalung dari uminya dan sepeda dari abinya. Hal tersebut
nampak pada kutipan berikut.
Mereka akan pergi ke pasar
Lhok Nga. Membeli kalung hadiah hafalan bacaan shalat Delisa (di samping
belanjaan rutin mingguan Ummi lainnya). Kalung yang dijanjikan Ummi sebulan
lalu. Kalung yang membuatnya semangat belajar menghafal bacaan shalat
minggu-minggu terakhir. (Hafalan Shalat
Delisa, 2008,:25)
“Ah iya, nanti Abi juga kasih hadiah buat Delisa. Sepeda!” Abi
berkata lembut (Hafalan Shalat Delisa, 2008:30).
b. Tahap
Pemunculan Konflik (Generation
Circumstances)
Konflik dalam
novel Hafalan Sholat Delisa muncul
ketika bencana gempa dan tsunami melanda ketika Delisa melakukan praktik
sholat. Ketika itu, tiba-tiba gelombang tsunami menerjang. Aka tetapi, Delisa
tetap khusyuk dalam membaca bacaan sholat sehingga tidak menyadari adanya
gelombang tsunami yang datang. Hal tersebut nampak dalam kutipan berikut.
Ujung air mennghantam tembok
sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Ummi yang
berdiri lagi di depan pintu kelas menunggui Delisa berteriak keras…SUBHANALLAH!
Delisa tidak mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. (Hafalan Shalat Delisa, 2008:71).
c. Tahap
Peningkatan Konflik (Rising Action)
Tahap peningkatan
konflik terjadi ketika tubuh Delisa berada di semak-semak. Ia bertahan hidup
dengan minum air hujan dan makan apel yang dibawakan oleh burung-burung. Hal
tersebut sangat ajaib. Beberapa hari kemudian, Delisa berhasil ditemukan oleh
seorang relawan. Kaki kanannya sudah membusuk sehingga harus diamputasi oleh
tim medis. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut.
Delisa dioperasi. Betis kaki
kanannya yang sudah membusuk bernanah diamputasi tanpa ampun. Siku tangan
kanannya di-gips. Masih bisa diselamatkan. Tubuhnya lemah sekali. Tak ada yang bisa menjelaskan
bagaimana tubuh selebam, seluka, dan menyedihkan itu masih bisa bernafas.
Bertahan hidup (Hafalan Shalat Delisa, 2008:111-112).
d. Tahap
Klimaks (Climax)
Tahap klimaks
dalam novel Hafalan Sholat Delisa
terjadi ketika Delisa kembali ke Lhok Nga dan melihat kehancuran Lhok Nga
akibat tsunami. Delisa pun harus belajar menyesuaikan diri dengan kondisi
fisiknya yang kini cacat. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
Delisa mulai belajar
berhitung. Belajar menulis, menggambar, bernyayi, dan semua kegiatan yang
menyenangkan dulu. Delisa ingat ponten matematika-nya yang sembilan. Sekarang
pun Delisa tidak kesulitan melanjutkan sekolahnya. Masih sama seperti dulu.
Terasa menyenangkan, meski dengan situasi seadanya. Delisa tidak keberatan, ia
riang berangkat setiap pagi menuju sekolah darurat itu (Hafalan Shalat
Delisa, 2008:173).
e. Tahap
Penyelesaian (Denoement)
Tahap
penyelesaian terjadi ketika keadaan Aceh sudah kembali normal. Beberapa hari
kemudian, Umam telah menemukan umminya. Hal tersebut membuat Delisa marah dan
cemburu karena Umam telah menemukan uminya. Padahal, Umam anak yang nakal.
Sementara Delisa anak baik akan tetapi uminya tak kunjung ditemukan. Tahap
penyelesaian ini terjadi ketika Delisa menyadari bahwa kemarahannya terhadap
Umam hanya akan membuatnya menyesal.
Selain
itu, Delisa juga mulai menyadari bahwa setiap kali melakukan sesuatu harusnya
didasari dengan rasa ikhlas. Tidak boleh mengharapkan hadiah atau imbalan dari
orang lain. Termasuk ketika ia menghafalkan bacaan sholat, seharusnya ia tidak
mengharapkan kalung dan sepeda dari Umi dan abinya. Delisa sangat terharu
karena berkat semangat dan keikhlasannya, ia pun berhasil menghafal bacaan
sholatnya secara sempurna. Keajaiban pun terjadi ketika kalung yang dibelikan
umi untuk Delisa berhasil ditemukannya bersama tulang belulang uminya.
3.
Penokohan
Berikut
akan dijabarkan mengenai tokoh-tokoh yang dominan dalam novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.
a. Delisa
Delisa
merupakan anak bungsu. Ia sangat menggemaskan dan sedikit berbeda dengan
kakak-kakaknya. Delisa pun anak yang mandiri, penyayang, suka menolong sehingga
banyak disenangi oleh tetangganya. Hal tersebut nampak dalam kutipan berikut.
b. Umi
Umi Delisa bernama Umi Salamah. Umi Salamah adalah sosok ibu yang
benar-benar menyayangi anak-anaknya tanpa pilih kasih. Ia bekerja sebagai
penjahit baju.
c. Abi Usman
Abi Usman adalah ayah Delisa. Abi Usman pun adalah sosok ayah yang
penyayang dan bersahaja.
d. Kak Aisyah dan Kak Zahra
Kak Aisyah dan Kak Zahra adalah saudara kembar. Akan tetapi mereka
memiliki perbedaan sifat. Kak Zahra adalah sosok yang peyabar dan pendiam.
Sedangkan Kak Aisyah adalah sosok yang keras kepala, egois, dan pencemburu.
e. Kak Fatimah
Kak Fatimah adalah si sulung yang paling bisa diandalkan. Ia kelas
satu madrasah Aliyah. Di usianya yang baru 16 tahun, ia dapat menggantikan
peran uminya dengan baik. Salah satunya, menjaga adik-adiknya dengan penuh
kasih sayang.
f. Ustadz Rahman
Ustadz Rahman adalah sosok ustdaz yang sangat baik. Ia selalu
menyemangati Delisa. Ustadz Rahman merupakan guru ngaji Delisa.
g. Smith dan Sofi
Smith dan Sofi adalah relawan dari luar negeri yang membantu para
korban tsunami. Smith dan Sofi juga merupakan sahabat baru Delisa. Mereka
selalu memberi semangat kepada Delisa dan anak-anak Lhok Nga lainnya agar tidak
terus menerus terpuruk pasca tsunami.
4.
Latar
a. Latar
Tempat
Latar
tempat dalam novel Hafalan Shalat Delisa adalah
di Aceh. Tempat-tempat yang digambarkan dalam novel tersebut antara lain di
kampung halaman Delisa yaitu di Lhok Nga, tempat pengungsian (tenda darurat),
hutan, lapangan bola, kapal induk, sekolah, dan lain-lain.
b. Latar
Waktu
Latar
waktu dalam novel Hafalan Shalat Delisa ini
terjadi ketika Aceh di landa Tsunami pada bulan Desember 2004. Tsunami terjadi
tepatnya tanggal 26 Desember 2004.
c.
Latar Suasana
Suasana
yang terjadi dalam ovel Hafalan Shalat
Delisa sangat menyedihkan dan mengharukan karena mengisahkan tentang
perjuangan seorang anak kecil yang menjadi korban tsunami.
B.
Kepribadian
Tokoh Delisa dalam Novel Hafalan Sholat
Delisa
Kepribadian
tokoh Delisa dalam novel Hafalan Shalat
Delisa akan dijabarkan menurut struktur Das
Es (The Id), Das Ich (The Ego), dan Das
Uber Ich (The Superego) seperti teori yang disampaikan oleh Sigmund Freud.
1.
Kepribadian
Tokoh Delisa Berdasarkan Aspek Id
Aspek
id berisikan dunia batin dan tidak
berhubungan langsung dengan dunia objektif. Aspek id nampak ketika Delisa ingin menghafal bacaan shalat dengan
sempurna. Delisa sebenarnya adalah anak yang cerdas akan tetapi terkadang ia
malas menghafal bacaan sholat. Oleh karena itu, kakak-kakaknya membuatkan
Delisa cara menghafal bacaan shalat dengan secarik kertas yang dinamai Jembatan Keledai. Hal tersebut nampak
pada kutipan berikut.
Di atas meja itu ada selembar kertas.
Kertas apa? Mata Delisa menyapu setiap senti-nya. Jembatan Keledai. Itu petunjuk cara menghafal shalat yang baik.
Seperti bagaimana agar bacaan rukuk tidak tertukar dengan bacaan sujud.
Bagaimana agar bacaan di antara dua sujud tidak terbolak-balik. Semuanya ada jembatan keledainya. Cara menghafal
dengan menganalogkan hafalan dengan huruf atau benda-benda menarik lainnya. (Hafalan Shalat Delisa, 2008:49).
Delisa menyadari apa kertas itu,
bersorak senang! Kertas ini menyelamatkannya!
Ia semangat berlari ke meja makan lagi (Hafalan
Shalat Delisa, 2008:49).
Aspek
id pada kutipan tersebut
menggambarkan adanya perasaan puas dan senang yang dirasakan oleh Delisa karena
mendapatkan cara yang mudah dalam menghafal bacaan shalat.
Aspek
id juga nampak ketika Delisa
mendapatkan hadiah cokelat dari ustdz Rahman akan tetapi Delisa bingung ketika
mendapat pertanyaan kenapa ustadz Rahman memberikan hadiah cokelat untuknya.
Adanya keinginan untuk tidak berbohong adalah akibat dari dorongan id yang ada pada diri Delisa. Hal
tersebut nampak pada kutipan berikut.
Delisa menelan ludah. Ia tidak bisa
berbohong. Tetapi akan lebih rumit kalau ia cerita sekarang. Pasti dihabisin Kak Aisyah. Ah besok-besok kan
masih ada waktu. Delisa akan cerita deh…
tetapi besok-besok ceritanya. Janji Delisa dalam hati sungguh-sungguh
(sayangnya Delisa tidak tahu! Tidak ada lagi besok-besok itu). (Hafalan Shalat Delisa, 2008:61)
Delisa adalah sosok yang menyayangi seluruh
keluarganya. Di saat ia sadar dari tidur
panjangnya, ia sangat ingin mengeahui dimana umi dan kakak-kakaknya karena
ketika itu yang datang menjenguk hanya Abi Usman. Saat Abi Usman menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Delisa sangat terpukul. Hatinya bagai tertusuk
sembilu. Pedih. Adanya perasaan pedih di dalam hatinya ketika mendengarkan
penjelasan abi Usman tersebut termasuk ke dalam id karena perasaan atau intrinsik-intrinsik adalah unsur-unsur yang
ada di dalam id. Berikut kutipan yang
menggambarkan kepedihan hati Delisa.
2.
Kepribadian
Tokoh Delisa Berdasarkan Aspek Ego
Aspek
ego yang terlihat dari tokoh Delisa
adalah sikapnya yang ingin menghafal bacaan sholat agar mendapatkan hadiah
berupa kalung berliontin huruf “D”.hal tersebut nampak pada kutipan berikut.
Delisa menarik nafas. Menggaruk-garuk
rambut pirangnya. Ia teringat hadiah kalung itu… indah sekali! Delisa tersenyum
senang. Ia harus hafal bacaan sholat ini segera biar dapat kalung itu! HARUS! (Hafalan Shalat Delisa, 2008:25).
Keinginan
mewujudkan impian dengan ego yang tinggi juga nampak ketika Abi Usman
menjajikan sesuatu kepada Delisa. Jika Delisa berhasil menghafal bacaansholat
dengan sempurna, maka Abi Usman akan memberikan hadiah kepada Delisa berupa
sepeda roda dua. Hal tersebut mendorong Delisaa semakin semangat untuk
mewujudkan impiannya. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut.
“Karena Abi janji beliin Delisa sepeda!
Hadiah hafalan shalat buat Delisa! Jadi Wusshh… Delisa pasti nggak telat lagi!”
Delisa menyeringai bangga. Membuka iqra’nya. (Hafalan Shalat Delisa, 2008:37).
Delisa
belum bisa naik sepeda. Keinginannya untuk bisa naik sepeda semakin besar
ketika Abi Usman menjanjikan akan menghadiahi Delisa sebuah sepeda ketika ia
berhasil menghafal bacaan shalat. Oleh karena itu, Delisa melakukan berbagai
cara agar dapat naik sepeda dengan cepat. Ia belajar naik sepeda dengan Tiur.
Setengah Jam berikut dihabiskan oleh
Delisa belajar naik sepeda. Ternyata tidak semudah main sepak bola. Delisa
sudah tiga kali jatuh berdebam di atas pasir. Lututnya bahkan lecet (ia sih pakai digulung segala
celananya.) rambut ikal pirangnya penuh
butiran pasir. Tetapi Delisa tetap cuek.
(Hafalan Shalat Delisa, 2008:46).
Aspek
ego pada kutipan di atas merupakan aspek yang digunakan untuk mecapai id yaitu ingin menghafal shalat secara
sempurna.
3.
Kepribadian
Tokoh Delisa Berdasarkan Aspek Superego
Kepribadian
tokoh Delisa berdasarkan aspek superego yaitu walaupun gagal mendapatkan kalung
dan sepeda roda dua dari umi dan abi, namun Delisa tetap bertekad untuk
melanjutkan menghafal bacaan shalatnya ditegah kondisinya yang belum stabil. Meskipun
sulit bagi Delisa, tetapi Delisa memilih untuk tetap berusaha semaksimal
mungkin karena sudah dibuatkan jembatan keledai oleh Abi Usman. Hal tersebut
nampak dalam kutipan berikut.
Urusan menghafal bacaan
shalat itu pelik bagi Delisa. Susah. susaaaaaah sekali. Guratan huruf Arab itu menolaknya
mentah-mentah. Delisa sudah sebulan terahir selepas Isya selalu menenteng buku
hafalan bacaan shalatnya. Membacanya berulang-ulang. Malam ini jika ia berhasil
hafal doa iftitah. Besoknya ia seketika lupa begitu saja. Seperti lukisan di
kanvas yang raib begitu saja. Delisa benar-benar bingung. Belum lagi penyakit
terbolak-balik menghafalnya yang kembali semakin parah (Hafalan Shalat Delisa,
2008:184).
Aspek
superego pun mulai terlihat ketika
Delisa menyadari bahwa untuk melakukan
sesuatu tidak boleh didasarkan karena mengharap imbalan dari orang lain. Delisa
ingin menghafal bacaan shalat dengan ikhlas bukan karena ingin mendapatkan
hadiah dari Abi dan Umi. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut.
“Delisa hanya ingin hafal shalatnya! Delisa
hanya ingin berdoa agar Delisa selalu bersama Ummi dalam shalat… Delisa hanya
ingin itu… Delisa hanya ingin Shalat! Delisa hanya ingin berdoa agar bisa
bertemu Ummi…” Mata hijau Delisa buncah oleh penyesalan. Buncah oleh pemahaman
yang tiba-tiba ditumbuhkan dalam hatinya (Hafalan Shalat Delisa,
2008:253).
Aspek superego dalam
kutipan tersebut menggambarkan dasar hati nurani Delisa yang mengerti bahwa
segala sesuatu yang dilakukan harus didasarkan oleh keikhlasan hati, bukan
karena iming-iming hadiah tertentu.
Pada akhirnya, Delisa mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta
mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
analisis struktural novel Hafalan Shalat
Delisa karya Tere Liye tersebut, unsur struktural yang membangun novel Hafalan Shalat Delisa antara lain tema,
alur, penokohan, dan latar. Tema dalam novel ini adalah motivasi kehidupan yang
mengisahkan semangat dan perjuangan anak berusia enam tahun yang berusaha untuk
menghafal bacaan shalat secara sempurna. Ia juga merupakan gadis yang tegar
meskipun bencana tsunami telah merenggut orang-orang yang ia sayangi.
Alur
dalam novel ini adalah alur maju. Tokoh-tokoh yang diteliti dalam penelitian
ini tidak hanya Delisa saja. Akan tetapi, ada tokoh-tokoh lain yang dominan
muncul antara lain: Abi Usman, Umi Salamah, Kak Fatimah, Kak Aisyah dan Kak
Zahra, Ustadz Rahman, Kak Sofi, dan Smith.
Latar
yang digambarkan dalam novel Hafalan
Sholat Delisa dikaji berdasarkan latar tempat, latar waktu, dan latar
suasana. Latar tempat antara lain terjadi di Lhok Nga, hutan, tenda darurat,
ruang rawat, lapangan bola. Latar waktu dalam novel tersebut adalah ketika
bencana tsunami menerjang pada bulan Desember 2004. Suasana haru dan sedih
menyelimuti kisah-kisah yang tertulis dalam novel Hafalan Shalat Delisa.
Selain
analisis struktural, penelitian ini juga mengkaji aspek kepribadian tokoh
utama, yaitu tokoh Delisa. Kepribadian tokoh Delisa dalam novel Hafalan Shalat Delisa dapat disimpulkan
tiga hal sebagai berikut: (1) kepribadian tokoh Delisa berdasarkan aspek Id yaitu adanya keinginan untuk
membuktikan bahwa ia dapat menghafal bacaan shalat secara sempurna dengan
bantuan Jembatan Keledai yang dibuat oleh kakak-kakaknya, (2) kepribadian tokoh
Delisa berdasarkan aspek ego yaitu
adanya dorongan naluri Delisa untuk segera menghafal bacaan shalat agar cepat
mendapatkan kalung dari umi dan sepeda roda dua dari abi, (3) kepribadian tokoh
Delisa berdasarkan aspek superego
yaitu walaupun Delisa gagal mendapatkan kalung dan sepeda roda dua karena
musibah tsunami yang menimpanya, tetapi Delisa tetap bertekad untuk
menghafalkan bacaan shalat secara sempurna. Ia juga menyadari kesalahannya
karena pernah melakukan sesuatu hanya karena ingin mendapatkan hadiah dan tidak
didasari keikhlasan hati.
RANCANGAN INSTRUMEN UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN MENULIS TEKS ANEKDOT
RANCANGAN INSTRUMEN
UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN MENULIS TEKS
ANEKDOT
A.
Kajian
Teori
Ketrampilan
berbahasa memiliki empat komponen, yaitu: ketrampilan menyimak (listening skill), ketrampilan berbicara
(speaking skill), ketrampilan membaca
(reading skill), dan ketrampilan
menulis (writing skill) (Nida dalam
Tarigan, 1986:1). Keempat ketrampilan tersebut memiliki hubungan yang sangat
erat. Setiap ketrampilan itu berhubungan dengan proses-proses yang mendasari
bahasa.
Kemampuan
berpikir seseorang dapat dilihat dari kemampuannya dalam menguasai sebuah
bahasa. Ketrampilan berbahasa ini hanya dapat diperoleh melalui praktik dan
latihan secara rutin. Dengan demikian seseorang akan semakin terampil dalam
berbahasa sehingga semakin jelas pula pola berpikirnya.
Menulis
dalam kaitannya dengan ketrampilan bahasa yang lain merupakan sebuah
ketrampilan yang disampaikan dalam wujud bahasa tulis. Artinya, komunikasi
terjadi secara tidak langsung atau bersemuka. Namun demikian, ketrampilan
menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif seperti halnya
ketrampilan berbicara. Kegiatan menulis mengharuskan seorang penulis untuk
memanfaatkan struktur bahasa, kosa kata, tata bahasa, serta ejaan.
Menulis
dimaksudkan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan ide, pikiran,
pengetahuan, ilmu dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam bahasa tulis yang
jelas, runtuk, ekspresif, enak dibaca, dan bisa dipahami oleh orang lain
(Marwoto, 1985:12).
Pendapat
lain dikemukakan oleh DePorter dan Hernacki (2003:1) yang menyatakan bahwa
menulis merupakan aktifitas otak kanan (emosional) dan aktifitas otak kiri
(logika) keduanya memiliki peran dalam ketrampilan menulis.
Tidak
sesederhana kedua pendapat di atas, Tarigan (1986:21) menyatakan bahwa menulis
ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan
suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca
lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran
grafik tersebut.
Marwoto
(1985:12) menguraikan tiga syarat dalam ketrampilan menulis yang juga berlaku
untuk ketrmpilan wicara, yakni: (1) kita harus kaya akan ide, ilmu pengetahuan,
pengalaman hidup; (2) kita harus memiliki intuisi yang tajam dan jiwa yang
arif; (3) kita harus memiliki kekayaan
berbahasa.
Pertama, harus kaya akan ide, ilmu pengetahuan,
pengalaman hidup. Sebab, kekayaan tersebutlah bahan dan modal pokok penulisan.
Kekayaan itu bisa dicapai dengan membina secara intensif ketrampilan membaca,
ketrampilan menyimak, ketrampilan merekam, mengolah, dan merespon berbagai
masukan, ide, pengalaman hidup, dan ilmu pengetahuan yang siap kita tuangkan.
Bisa merupakan pemerolehan kita dari pihak lain, bisa pula murni dari kita
sendiri (jauh lebih ternilai). Proses kreatif menciptakan ide dan ilmu pengetahuan
itu bisa dirangsang melalui kekayaan masukan yang kita terima dari pihak luar.
Kedua, di
samping memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dan luas serta pengalaman hidup
yang kaya, kita harus memiliki intuisi yang tajam dan jiwa yang arif. Intuisi
yang tajam berguna untuk menangkap berbagai fenomena kehidupan secara
sensitive, jeli, dan tepat, sedang jiwa yang arif akan memberikan nilai dan
kemampuan menyeleksi atas hal-hal yang pantas dimiliki dan dilakukan atau
tidak. Kearifan membuat sesuatu punya nilai humaniora dan religiusitas.
Ketajaman suatu intuisi dan kearifan jiwa ini harus dibentuk melalui pendidikan
agama, budi pekerti, kesenian, dan pengalamannya.
Ketiga, kita
harus memiliki kekayaan berbahasa, betapapun, faktor bahasa tetap merupakan
faktor dominan dan modal prima dalam dunia tulis menulis. Apalah artinya
kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan, ide-ide yang cemerlang dan pengalaman
hidup yang kaya raya, jika tidak diimbangi dengan kekayaan bahasa.
Adelstein
dan Pival (dalam Tarigan, 1986:29) menggambarkan berbagai macam tulisan
berdasarkan nada. Salah satunya
tulisan bernada akrab. Tulisan bernada akrab ini membuahkan tulisan pribadi (personal writing). Tulisan pribadi atau
personal writing merupakan suatu
bentuk tulisan yang memberikan sesuatu yang paling menyenangkan dalam
penjelajahan diri pribadi sang penulis (Tarigan, 1986:30).
Tulisan
pribadi lebih menyenangkan dibandingkan jenis tulisan lain. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan D’Angelo dalam Tarigan (1986:31) yang menyatakan bahwa
tulisan pribadi memberikan suatu kesempatan mempelajari diri kita sendiri.,
mempertajam persepsi-persepsi atau pun daya tanggap terhadap diri kita sendiri
serta lebih banyak mengenai diri kita sendiri, maka kita akan mendapatkan
kesenangan dan kepuasan di dalamnya.
Tarigan
(1986:32) menyatakan tulisan pribadi hendaklah: (1) hidup dan bersemangat; (2)
lincah dan cemerlang; (3) menarik, memikat, dan memukau; (4) menyegarkan.
Selanjutnya,
tulisan pribadi ini sudah barang tentu dapat pula: (1) bersifat ramah; (2)
berapi-api penuh semangat; (3) riang gembira; (4) penuh dengan kegiatan dan
keriaan percakapan; (5) tetapi tanpa banyak pengulangan, penyimpangan, serta
tanpa “wah”! “aduh”, dan “anda tahu? (D’Angelo dalam Tarigan, 1986:32).
Dari
sekian banyak cirri yang dikemukakan, ada dua cirri lain yang perlu diperinci
lagi, yaitu kewajaran (naturalness) dan
keterusterangan (honesty).
Kewajaran,
Sebenarnya yang membuat suatu tulisan mudah dan wajar adalah “spontanitas” yang
dimiliki sang penulis.oleh karena itu, kewajaran mungkin tidak datang dengan
sendirinya, jika ingin mendatangkan kewajaran itu maka harus ada keinginan pada
diri kita untuk menulis secara efektif, secara tepat guna, dan untuk mencapai
hal itu justru dalam tulisan kita sendiri (Tarigan, 1986:33). Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Adelstein dan Pival dalam Tarigan (1986:33) yang
menyatakan bahwa tulisan pribadi akan memberi kesempatan kepada kita untuk
menggarap suatu subyek yang akan menarik hati kita, dan justru kitalah yang
paling berwenang menulis hal itu, selain itu tulisan pribadi akan memberi
kesempatan kepada kita untuk mempelajari berbagai hal mengenal diri kita sendiri
pada saat menyelidiki hal-hal yang belum pernah terpikirkan sepenuhnya sebelum
itu.
Keterusterangan
menuntut kita membuang jauh-jauh segala rasa cemas mengenai hal-hal yang
disetujui oleh para pembaca yang akan mengejutkan mereka, dan rasa kasihan dan
penyesalan mereka kepada diri kita, ataupun kemungkinan para pembaca
menertawakan serta mencibir kita (Tarigan, 1986:34). Keterusterangan dan
kejujuran mendorong kita agar sungguh-sungguh berani, berkarya, percaya, ingin
mengemukakan yang sebenarnya mengenai diri kita sendiri. Itulah kualitas yang
paling penting dari tulisan pribadi (Adelstein dan Pival dalam Tarigan,
1986:34).
Dari
keakraban lahirlah tulisan pribadi yang dapat diklasifikasikan dari berbagai
segi. Berdasarkan bentuknya, tulisan
pribadi dapat digolongkan atas:
(1) Buku
catatan harian; jurnal (journal)
(2) Cerita
yang bersifat otobiografis (autobiographical
narrative)
(3) Lelucon
yang bersifat otobiografis (autobiographical
anecdote)
(4) Esei
pribadi (personal essai).
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, salah satu jenis tulisan pribadi adalah teks
anekdot. Teks anekdot tersebut dalam
memunculkan gelak tawa dan mengurangi ketegangan, salah satu cara untuk
menimbulkan gelak tawa ini adalah lelucon (Tarigan, 1986:43). Selain mengandung
lelucon, teks anekdot biasanya mengandung sindiran yang ditujukkan untuk orang
lain. Teks anekdot biasanya berisi mengenai kisah-kisah orang terkenal dan
berdasarkan kejadian yang sesungguhnya. Akan tetapi, ada pandangan lain bahwa
teks anekdot tidak hanya menceritakan orang yang terkenal saja dan tidak jarang
merupakan kisah rekaan.
Teks
anekdot mengisahkan peristiwa-peristiwa yang menjengkelkan atau hal-hal konyol
bagi seseorang yang mengalaminya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan krisis
yang ditanggapi sebuah reaksi dari pertentangan antara rasa nyaman, tidak
nyaman; puas, frustasi; tercapai dan gagal. Unsur lelucon dalam teks anekdot
dapat memunculkan gelak tawa sehingga dapat mengurangi ketegangan pembacanya.
Tarigan
(1986:43) menyatakan bahwa maksud mempergunakan suatu lelucon sebagai suatu
pendahuluan adalah untuk mengalihkan perhatian pembaca kepada pokok pembicaraan
tersebut. unsur lelucon memang dapat digunakan secara efektif baik di awal,
tengah, atau akhir sebuah tulisan untuk mengembangkan suatu peristiwa. Namun,
terkadang seorang penulis meletakkan lelucon di akhir tulisannya untuk mencapai efek makna tertentu yang tidak
meungkin dicapai dengan pernyataan akhir yang kurang dramatik.
Seperti
halnya dengan jenis teks yang lain, teks anekdot pun memiliki struktur yang
jelas. Struktur tersebut meliputi: Abstraksi, Orientasi, Krisis, Reaksi, serta
Koda.
Tes
kemampuan menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan dan ketrampilan
berbahasa yang paling akhir dikuasai oleh pembelajar bahasa setelah kemampuan
mendengarkan, berbicara, dan membaca (Iskandarwassid dan Dadang Sunendar,
2009:248). Agar siswa dapat memperlihatkan ketrampilannya dalam menulis, perlu
disiapkan tes yang baik pula. Masalah dalam penilaian harus diperhatikan dengan
baik untuk memperendah kadar subyektivitas pada saat melakukakan penilaian.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan bagaimana cara memilih teknik penilaian yang
memungkinkan penilai untuk memperkceil kadar subyektifitas tersebut.
Tes
kemampuan menulis yang paling sering diberikan kepada peserta didik adalah
dengan menyediakan tema atau sejumlah tema, dan ada kalanya sudah berupa
judul-judul yang harus dipilih salah satu di antaranya (Nurgiyantoro,
2011:437). Penyediaan tema membebaskan peserta didik untuk membuat judul
karangannya sepanjang mencerminkan tema yang dimaksud. Jenis karangan yang
digunakan dapat berupa fiksi maupun non fiksi. Penyediaan tema yang lebih dari
satu akan semakin memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih tema
yang menarik atau yang paling dikuasai.
Penilaian
terhadap hasil karangan peserta didik sebaiknya juga menggunakan rubric
penilaian yang menyangkut komponen isi dan gaya bahasa masing-masing dengan sub
komponennya (Nurgiyantoro, 2011:439). Penilaian dapat dikembangkan sendiri
dengan memberi bobot secara proporsional terhadap tiap komponen-komponen itu
dalam mendukung eksistensi sebuah karangan. Artinya, komponen yang lebih
penting diberi skor lebih tinggi dibandingkan dengan komponen yang kurang
penting. Penilai dapat memberikan skala 1-100 pada setiap komponen.
Nurgiyantoro
(2011:440) menyebutkan bahwa komponen yang dimaksud antara lain: (1) isi
gagasan yang dikemukakan, (2) organisasi isi, (3) tata bahasa, (4) gaya:
pilihan struktur dan kosakata,, (5) Ejaan dan tata tulis.
B.
Definisi
Konseptual
Kemampuan
menulis teks anekdot adalah kemampuan seseorang mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan,
ilmu dan pengalaman-pengalamannya dalam bahasa tulis dengan memunculkan unsur
kelucuan serta sindiran secara runtut sesuai dengan pola struktur anekdot yaitu
abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, koda.
C.
Definisi
Operasional
Kemampuan
menulis teks anekdot adalah kemampuan seseorang mengungkapkan ide, pikiran,
pengetahuan, ilmu dan pengalaman-pengalamannya dalam bahasa tuli dengan
memunculkan unsur kelucuan serta sindiran secara runtut sesuai dengan pola
struktur anekdot yaitu abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, koda yang dapat
diukur dengan tes melalui: (1) kemampuan mengungkapkan isi gagasan, (2) kemampuan mengorganisasikan
isi, (3) kemampuan menggunakan tata bahasa, (4) kemampuan memilih gaya, yaitu pilihan
struktur dan kosakata, (5) kemampuan menggunaakan ejaan dan tata tulis. Skala
1-100 diberikan dalam pembobotan penilaian tiap komponennya.
D.
Dimensi
dan Indikator
Berdasarkan
kajian teori, definisi konseptual, dan definisi operasional di atas, maka
dimensi dan indikator-indikator yang terkait dengan kemampuan menulis teks
anekdot sebagai berikut:
1. Isi
gagasan yang dikemukakan;
2. Organisasi
isi;
3. Tata
bahasa
4. Gaya:
pilihan struktur dan kosakata;
5. Ejaan
dan tata tulis.
E.
Jenis
Instrumen
Instrumen
yang digunakan untuk mengukur kemampuan menulis teks anekdot dalam rancangan
ini berupa penilaian produk. Siswa menghasilkan produk yang berupa tulisan
anekdot dengan tema “Lingkungan Sekolah”.
F.
Kisi-Kisi
Instrumen Variabel Kemampuan Menulis Teks Anekdot
Dimensi
|
Indikator
|
Rentangan Skor
|
Skor
|
Isi
gagasan yang dikemukakan
|
kemampuan
mengungkapkan isi gagasan.
|
13-30
|
|
Organisiasi
isi
|
kemampuan
mengorganisasikan isi
|
7-20
|
|
Tata
bahasa
|
Kemampuan
menggunakan tata bahasa
|
5-25
|
|
Gaya:
pilihan struktur dan kosakata
|
kemampuan
memilih gaya, yaitu pilihan struktur
dan kosakata
|
7-15
|
|
Ejaan
dan tata tulis
|
Kemampuan
menggunakan ejaan dan tata tulis
|
3-10
|
|
Jumlah
|
|
G.
Instrumen
Kemampuan Menulis Teks Anekdot
Tes
Kemampuan Menulis Teks Anekdot
Petunjuk
Umum Mengerjakan Tes
1. Tes
ini bertujuan untuk mengetahui seberapa baik kemampuan menulis teks anekdot
kalian
2. Buatlah
tulisan anekdot dengan tema “Lingkungan Sekolah”!
3. Panjang
tulisan minimal 1 halaman buku (300-500 kata).
4. Kumpulkan
data dari berbagai sumber yang ada di sekitar kalian!
5.
Susunlah kerangka karangan yang akan ditulis dalam sebuah teks
secara utuh!
6.
Kembangkan
kerangka karangan yang telah kalian susun menjadi teks/paragraf yang padu
berdasarkan struktur teks anekdot!
7.
Penulisan dinilai berdasarkan: (1) isi gagasan yang
dikemukakan, (2) organisasi isi, (3) tata bahasa, (4) Gaya: pilihan struktur
dan kosakata, (5) ejaan dan tata tulis.
*Selamat
Mengerjakan*
DAFTAR
PUSTAKA
Bobbi
DePorter and Mike Hernacki. 2003. Quantum
Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Iskandarwassid dan Dadang
Sunendar. 2009. Strategi Pembelajaran
Bahasa. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Marwoto, dkk. 1985. Komposisi
Praktis. Yogyakarta: PT. Hanindita.
Nurgiyantoro, Burhan. 2011. Penilaian Pembelajaran Bahasa.
Yogyakarta: BPFE.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa.
Bandung: Penerbit Angkasa.
Langganan:
Postingan (Atom)