Senin, 10 Agustus 2015

Proposal Penelitian: Kepribadian Tokoh Hujan dalam Novel Pesan Cinta dari Hujan Karya Erni Aladjai: Kajian Psikoanalisis


A.      Judul
Kepribadian Tokoh Hujan dalam Novel Pesan Cinta dari Hujan Karya Erni Aladjai: Kajian Psikoanalisis

B.       Latar Belakang
Ciri khas manusia adalah hasratnya yang ingin tahu setelah ia memperoleh pengetahuan, timbul hasrat ingin lebih tahu lagi. Begitu seterusnya, manusia tidak pernah puas dengan apa yang diketahuinya (Satoto, 2012:1). Sifat ingin tahu itu telah dapat disaksikan sejak manusia masih kanak-kanak. (Sangidu, 2004:1). Begitupun dalam dunia sastra, pertanyaan mengenai seluk beluk sastra dan karya sastra akan muncul dalam benak peneliti.
Karya sastra adalah suatu karya kreatif yang dihasilkan berdasarkan olah pikir pengarang secara interpretatif. Sebagai karya imajinatif, karya sastra bisa memperlihatkan tokoh-tokoh yang mewakili perilaku manusia yang beragam. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Semi (1988: 8) sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Fungsi utama karya sastra itu sendiri adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan (Ratna, 2011: 75). Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya. Salah satu genre sastra adalah novel yang merupakan hasil proses kreatif yang diinterpretasikan oleh pengarang. Novel berbeda dengan cerpen karena bentuknya yang panjang sehingga novel tidak dapat mewarisi kesatuan yang padat yang dimiliki oleh cerpen (Stanton, 2007: 90).
Novel dapat dikatakan lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan dengan cerpen. Dikatakan lebih mudah karena novel novel tidak dibebani tanggungjawab untuk menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dengan bentuk padat dan dikatakan lebih sulit karena novel ditulis dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas ketimbang cerpen (Stanton, 2007: 90). Fisik novel yang panjang akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari alur cerita. Agar novel lebih mudah dipahami, perlu dibuat semacam daftar yang menampung setiap peristiwa pada tiap bab (Stanton, 2007: 90).
Sejalan dengan beberapa pandangan mengenai novel di atas, Esten memiliki pandangan tersendiri mengenai novel. Menurutnya, novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia yang terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan perubahan jalan hidup antar pelakunya (Esten, 2978: 12).  Permasalahan yang sering diangkat oleh pengarang dalam karya-karyanya biasanya berangkat dari permasalahan kejiwaan (Psikologi). Hal tersebut dikarenakan dalam kajian psikologi mengkaji tentang perilaku tokoh-tokoh dalam novel yang dihasilkan. Kajian psikologi tersebut, memiliki cabang kajian berupa Psikoanalisis.
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner dalam Endraswara, 2013: 101) seorang dokumenter termuda dari Wina. Psikoanalisa ditemukan oleh freud pada tahun 1980-an. Teori-teori Freud dianggap memberikan prioritas pada masalah seksual, walauapun Freud adalah seorang dokter yang selalu berpikir secara ilmiah namun dunia sastra tidak asing baginya karena semasa mudanya ia memperoleh pendidikan sastra dan menelaahnya secara serius (Minderop, 2010: 11).
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego, dan¸ super ego (Endraswara, 2013: 101). Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya (Endraswara, 2013: 101)
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, kondisi serupa juga diungkapkan oleh Erni Aladjai dalam novelnya yang berjudul Pesan Cinta dari Hujan yang mengisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Hujan yang tinggal di Pulau Lipulalongo  yang terletak di Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Sebuah pulau terpencil dengan budaya patrilineal dan sinkritisme yang kental. Sejak kecil Hujan menyaksikan dan merasakan kekasaran ayahnya terhadap ibunya, adiknya dan dirinya. Hal itu membuat Hujan lebih dekat dengan sahabatnya yang bernama Hasna yang menderita Kusta dan hidup sebatang kara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti akan menggunakan kajian psikoanalisis untuk mengungkap kepribadian tokoh utama dalam novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai. Akan tetapi, sebelum melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai kajian tersebut, terlebih dahulu akan diungkap struktur novelnya terlebih dahulu.

C.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaiamana struktur novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai?
2.      Bagaiamana kepribadian tokoh Hujan dalam novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai?

D.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk memaparkan struktur novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai.  
2.      Untuk memaparkan kepribadian tokoh Hujan dalam novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai.





E.       Kajian Teori dan Pustaka
Kajian teori yang menjadi dasar pemikiran penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.    Novel
Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil (Stanton, 2007: 90). Cirri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit, ini berarti novel dikatakan lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca dibandingkan cerpen. Dikatakan lebih mudah karena novel tidak dibebani tanggung jawab untuk menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dengan bentuk padat dan dikatakn lebih sulit karena novel dituliskan dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas dibandingkan cerpen (Stanton, 2007: 90).
Stanton (2007: 91) meyatakan bahwa pada umumnya, setelah menyelesaikan sebuah novel, seorang pembaca hanya mengingat seglintir hal saja (alur cerita yang samar atau berbagai peristiwa menarik pada episode-episode teretentu). Istilah episode dalam fiksi hampir mirip dengan adegan dalam drama. Pergeseran dari episode ke episode lain bisa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter. Episode yang individual biasanya tidak terlalu sulit dibahas karena kita tidak perlu kembali ke bab berikutnya.
Stanton (2007: 92) menyatakan bahwa tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah “naratif” atau “ringkasan” dan “scenic” atau “dramatis”. Episode naratif bercerita pada kita bahwa sesuatu telah terjadi. Dalam episode ini, adegan  menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi sebagian besar melalui perantara dialog. Tipe selanjunya terdiri atas naratif dan adegan dalam intensitas yang bergantian, selain itu juga terdapat episode yang dikenal dengan istilah analitis atau mediatif yang rekaannya merenungkan karakter lain atau peristiwa yang telah berlalu.  Oleh karena itu, agar pembaca dapat memahami isi novel dengan baik, maka perlu membuat catatan-catatan kecil per bab.


2.    Teori Struktural
Abrams (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 1) mengatakan ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan mimetic, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif. Teori struktural termasuk dalam pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menganggap bahwa karya sastra sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri, menganggap bahwa karya sastra berifat otonom, terlepas dari alam sekitarnya, baik bagi pembaca bahkan pengarangnya sendiri (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 1). Sebelum menerapkan analisis lain yang lebih mendalam, prioritas pertama yang harus dilakukan adalah menerapkan analisis strukturalisme terlebih dahulu karena tanpa adanya analisis struktural tersebut, kebulatan makna dalam karya sastra tidak dapat diungkap.
Stanton (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 2) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian yaitu, fakta, tema, dan sarana sastra. dalam sebuah cerita, fakta meliputi karakter (tokoh), plot dan setting. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah antara satu dengan yang lainnya.
Unusr-unsur pembentuk novel yang utama menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2) meliputi tema, tokoh, alur (plot) dan latar (setting).

a.  Tema
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2) menyatakan bahwa tema berasal dari kata tithnai (bahasa Yunani) yang berarti menempatkan, meletakkan. Jadi, arti kata “tema” berarti sesuatu yang telah diuraikan atau segala sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan (Keraf dalam Wahyuningtas, 2011: 2).
Senada dengan pendapat di atas, Stanton dan Kenny (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 2) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sedangkan tema menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Wahyuningtyas dan Santoso, 2011: 2) merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantic dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Jadi, secara umum tema dapat diartikan sebagai ssebuah gagasan umum yang terkandung dalam karya sastra.

b.    Tokoh
Tokoh merujuk pada orang sebagai pelaku cerita (Wahyungtyas dan Santosa, 2011: 3). Abrams dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) memaparkan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh dalam cerita fiksi dibagi menjadi:
a)    Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam prosa yang bersangkutan. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama.
b)   Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonist menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) adalah tokoh yang memegang peranan pimpinan dalam cerita, tokoh ini ialah tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Adapaun tokoh antagonis adalah penentang dari tokoh protagonist sehingga menyebabkan konflik dan ketengangan (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 4).
Altenbernd dan Lewis (2011: 4) menyatakan bahwa teknik penggambaran tokoh antara lain sebagai berikut:
(a)    Secara analitik, pelukisan tokoh cerita melalui deskripsi dan penjelasan secara langung.
(b)   Secara dramatik, pengarang tidak langsung mendeskripsikan sifat, sikap, dan tingkah laku tokoh

c.    Alur
Stanton dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 5) menyatakan bahwa plot atau alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan dengan peristiwa yang lain.
Tasrif dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 5) membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yaitu:
a)      Tahap Situation (Penyituasian), tahap ini berisi perlukisan dan pengenalan situas (latar) dan tokoh cerita.
b)      Tahap Generating Circumtances (Pemunculan Konflik), tahap ini berisi masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik yang mulai dimunculkan.
c)      Tahap Rising Action (Peningkatan Konflik), tahap ini berarti konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang.
d)     Tahap Climax (Klimaks), tahap ini berisi konflik atau pertentangan yang terjadi pada tokoh cerita ketika mencapai titik puncak.
e)      Tahap Denouement (Penyesuaian), tahap ini berisi penyesuaian dari konflik yang sedang terjadi.



d.   Latar (setting)
Abrmas dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) menyatakan bahwa latar adalah landas tumpu, penyaran pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat erjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Nurgiyantoro dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) membedakan latar dibagi menjadi tiga unsur pokok, yaitu:
a)      Latar tempat (menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra, seperti: desa, sungai, jalan, hutan, dan lain-lain).
b)      Latar Waktu (menyaran pada ‘kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra misalnya tahun, musim, hari, san jam).
c)      Latar sosial (menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan lain-lain).

e.  Sudut Pandang (Pusat Pengisahan/ Point of View)
Sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan titik pandang dari sudut pandang dari sudut mana cerita itu dikisahkan (Nurgiyantoro dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 8).

3.    Psikologi dan Psikologi Sastra
Psikologi adalah suatu disiplin ilmu mengenai kejiwaan. Psikologi merupakan ilmu yang bediri sendiri, tidak bergabung dengan ilmu-ilmu lain, akan tetapi psikologi dipandang sebagai ilmu yang sama sekali terlepas dari ilmu-ilmu lainnya (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 8). Psikologi berkaitan dengan ilmu sastra (humaniora). Wellek dan Warren (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 8) mengatakan bahwa psikologi dalam sastra terdapat empat kategori. Yaitu: (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; (2) studi hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra; (3) proses kreatif; serta (4) pengarang dan latar belakang pengarangnya mempelajari dampak sastra terhadap pembaca atau psikologi karya sastra.
Psikologi sastra adalah kajian yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2013: 96). Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya, pun dengan pembaca dalam menanggapi karya juga tak lepas dari kejiwaan masing-masing bahkan sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal sastra sebagai sebagai pantulan jiwa (Endraswara, 2013: 96).
Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti: pertama, pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan; kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada peneliti tentang perwatakan yang dikembangkan; dan terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis (Endraswara dalam Minderop, 2010: 2) .

4.    Psikologi Kepribadian
Abdul Aziz Ahyadi (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 13) mengatakan bahwa istilah kepribadian digunakan untuk pengertian yang ditujukan pada individu atau peorangan.
Gordes W. Alport (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 13-14) dalam Psikologi Agama memberikan definisi kepribadian sebagai berikut:
Personality is the dynamic organization within the individual of those psycophysical system that determine his unique adjustment to his environment.
“Kepribadian ialah organisasi sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri individu yang menentukan penyelesaian dirinya yang unik terhadap lingkungan”.
Pakar lain, Hilgard (dalam Minderop, 2011: 4) menyatakan bahwa kepribadian menurut psikologi bisa mengacu pada karakteristik perilaku dan pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian dibentuk oleh potensi sejak lahir yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan pengalaman unik yang mempengaruhi seseorang sebagai individu. Pendekatan teoretis untuk memahami psikologi kepribadian yang mencakup kualitas nalar, psikoanalisis, pendidikan sosial, dan teori-teori humanistik.
Menurut pandangan eksperimental, kajian kepribadian merupakan suatu proses yang harus dipahami dengan mempelajari peristiwa yang haus dipahami dengan mempelajari peristiwa yang mempengaruhi perilaku seseorang melalui kontribusi peristiwa tersebut terhadap keprbadian si individu (Krech dalam Minderop, 2010: 7).  Menurut pandangan sosial, kajian kepribadian dalam kaitannya dengan konteks sosial dan perkembangan kehidupan harus dipahami melalui kontribusi model dan peran kebudayaan serta kebudayaan itu sendiri  (Krech, dalam Minderop, 2010: 7).
Psikologi kepribadian adalah psikologi yang mempelajari kepribadian manusia dengan objek penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia (Minderop, 2010: 8). Minderop (2010: 8) menyatakan bahwa sasaran pertama psikologi kepribadian adalah memperoleh informasi mengenai tingkah laku manusia. Karya sastra, sejarah, dan agama bisa memberikan informasi yang berharga mengenai tingkah lau manusia (Koswara dalam Minderop, 2010: 8). Sasaran kedua, psikologi kepribadian mendorong individu agar dapat hidup secara utuh dan mampu memuaskan, sasaran ketiga adalah agar individu mampu mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui perubahan lingkungan psikologis.
Fungsi psikologi kepribadian adalah fungsi deskriptif (menguraikan) dan mengorganisasi tingkah laku manusia atau kejadian-kejadian yang dialami individu secara sistematis (Minderop, 2010: 8). Fungsi kedua ialah fungsi prediktif, ilmu yang harus mampu meramalkan tingkah laku, kejadian, atau akibat yang belum muncul dari diri individu (Minderop, 2010: 8).

5.    Teori Kepribadian Psikoanalisis
Psikoanalisis oleh Freud sekitar tahun 1980-an. Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1990-an oleh Sigmund Freud, teori ini behubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini (Brenner dalam Minderop, 2010: 11).
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id, ego, dan super ego (Endraswara, 2013: 1010). Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar (Endraswara, 2013: 101). Dalam pandangan Atmaja dalam Endraswara (2013: 101) menyatakan bahwa id merupakan acuan penting untuk memaami mengapa seniman/ sastrawan menjadi kreatif. Melalui id pula sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Id merupakan aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu yang tak kenal nilai yang berupa “energy buta” (Endraswara, 2013: 101).
Dalam perkembangnnya kemudian tumbuh ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan, sementara super ego berkembang mengontrol dorongan-doraongan  “buta” id tersebut (Endraswara, 2013: 101). Dapat disimpulkan bahwa ego (das ich) adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia obyek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan (Endraswara, 2013: 101). Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar, sementara super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk) (Endraswara, 2013: 101).
F.       Metode Penelitian
1.      Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini unsur penokohan yang tercermin dalam kepribadian tokoh,  terutama tokoh Hujan sebagai tokoh utama dalam novel yang akan diteliti.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel  Pesan Cinta dari Hujan  karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh INSISTPress Yogyakarta pada bulan Oktober 2010. Setebal 272 Halaman. Sedangkan sumber data sekundernya adalah berupa laporan penelitian sastra baik skripsi, tesis, disertasi, maupun jurnal penelitian sastra.

2.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka. Data yang digunakan adalah berupa data-data tertulis yang sesuai dengan objek formal penelitian.  Setelah data terkumpul, kemudian peneliti membaca secara keseluruhan, memahami, dan mengidentifikasi novel Pesan Cinta dari Hujan utamanya mengenai aspek id, ego, dan super ego tokoh Hujan sebagai tokoh utama.

3.      Teknik Penarikan Sampel
Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini teknik purposive sampling  atau quota sampling. Teknik ini merupakan teknik pengambilan sampel secara tidak acak beradasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan objek formal penelitian yang digunakan.

4.      Teknik Triangulasi
Dalam teknik ini, peneliti melakukan pengumpulan data dari data yang sama. Data-data yang telah diperoleh kemudian dicek ulang pada sumber data yang lain. Dalam triangulasi metode, peneliti membandingkan data dengan data yang lain yang relevan.

5.      Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif analisis. Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data yang telah diperoleh secara apa adanya tanpa mengartikannya dengan angka-angka. Penekanan analisis data dalam penelitian ini adalah pada pemahaman dan penghayatan atas hubungan antar konsep yang dkaji secara empiris. Setelah itu, peneliti mengkaji data dengan kajian psikoanalisis yang berkaitan dengan kondisi psikologi tokoh Hujan sebagai tokoh utama dengan melakukan tinjauan yang berkaitan dengan id, ego, dan super ego.

G.      Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.

Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa Bandung.

Minderop, Albertine. 2010. Psikologi sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat.

Satoto, Soediro. 2012. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka.

Semi, M Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Sridharma.

Wahyuningtyas, Sri dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.





LAMPIRAN
Sinopsis Novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Aladjai

Novel Pesan Cinta dari Hujan karya Erni Anjani mengisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Hujan yang berasal dari Pulau Lipulalongo. Nama aslinya adalah Erni. Ibunya memberi nama Erni karena ia adalah penggemar penyanyi lawas: Erni Johan. Namanya diganti menjadi Hujan ketika usianya delapan tahun, lantaran sang ibu kesal karena setiap kali disuruh keluar rumah untuk bermain bersama anak tetangga selalu tidak mau. Gadis itu lebih memilih menghabiskan waktu bersama setumpuk  buku bacaan di sudut jendela. Ibunya khawatir jika ia beranjak dewasa nanti, ia tidak bisa bergaul dengan teman-temannya. Ibunya selalu mengingatkan agar Hujan bermain di luar rumah. Suatu ketika, Hujan menuruti apa kata ibunya. Ia keluar rumah dan bermaindengan teman sebayanya namun tidak beberapa lama kemudian, ia pulang dengan wajah sedih karena diejek dan jadi bahan tertawaan teman sepermainannya. Ibunya tidak pernah lelah mengingatkan Hujan agar ia bermain di luar di rumah. Akan tetapi, Hujan tetap memilih untuk berada di dalam rumah berteman buku dan hujan. Musim hujan adalah musim semi di hatinya. Ia sangat menyukai hujan. Baginya, hujan adalah penyelamat hidup. Oleh sebab itu, ibunya mengganti nama Erni menjadi Hujan.
Sejak kecil Hujan sudah menyaksikan ayah dan ibunya yang bertengkar hebat. Persoalan sepele seperti the yang diseduh ibunya tidak manis pasti ayahnya selalu marah dan membanting gelas ke lantai sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Hujan menyaksikan pertengkaran orangtuanya tersebut dari balik tirai jendela kamar. Ia menahan tangisnya jika ia tidak ingin ayahnya memukulnya. Sejak Hujan masih di dalam kandungan, ayahnya sudah berlaku kasar pada ibunya. Ketika Hujan berumur satu tahun, pertengkaran kedua orangtuanya semakin sengit. Jika sudah marah, ayahnya selalu menampar dan mendendang ibunya.
Ibu Hujan tersebut bernama Mia. Ia adalah seorang ibu dengan tiga orang anak. Bagi Mia, suaminya adalah orang yang sangat aneh karena di depan orang-orang, suaminaya selalu menjadi manusia yang benar-benar baik, suka menolong tanpa pamrih dan pendiam. Namun, jika di rumah justru suaminya terlihat kejam dan kasar. Saat Mia  mengandung Hujan pun, tak jarang perutnya ditendang. sejak Hujan menginjak masa anak-anak, Mia mulai melihat wajah Hujan seperti wajah ayahnya. Hidung, bibir, mata, semua milik suaminya, Hasar.
Hasar (ayah Hujan) tak hanya kasar terhadap istrinya, bahkan kepada anaknya. Saat Hujan mengikuti teman-temannya ke pinggir pantai, ayahnya pun menyusul dengan membawa kayu bakar, sepanjang perjalanan betis Hujan di pukul dengan kayu bakar tersebut. sejak itu, Hujan tidak punya teman bermain, ia menciptakan dunianya sendiri melalui buku-buku walaupun di dalam hatinya ia ingin seperti anak-anak yang lain yang bebas bermain. Hujan hanya keluar rumah saat menjual ikan atau ke sekolah.
Saat Hujan duduk di bangku SMP, ia berharap ayahnya tidak kasar lagi terhadap dirinya. Akan tetapi, justru kekasaran Hasar semakin menjadi-jadi. Ia bahkan melarang Hujan untuk belajar kelompok bersama teman-temannya, apalgi jika ada laki-lakinya. Pasti ayahnya semakin marah. Hujan iri dengan teman-temannya yang memiliki kebebasan bermain. Di sekolah, ia memiliki teman yang bernama Hasna. Hasna adalah anak yatim piatu yang hidup seorang diri di pulau Lipulalongo. Setiap hari ia mencari kerang remis di lumpur rawa-rawa sehingga kulitnya kudisan dan penuh panu. Hasna adalah satu-satunya sahabat terbaik Hujan. Saat pulang sekolah, Hujan sering mencuri-curi waktu untuk bermain di rumah panggung Hasna. Hujan kini seperti Mia, memiliki tempat pelarian jika ia muak dengan kekasaran ayahnya ia selalu ke rumah Hasna. Sedangkan ibunya selalu ke rumah janda penjahit serbet yang rumahnya tak pernah terbuka. Hujan dan Hasna sering bermain ke pulau Kokungan. Mereka berkemah di pulau tersebut. Hasna menulis di pohon dengan pisau, ia menulis “H cinta H”.
Setiap hari, Hujan selalu mengukur tinggi badannya. Ia ingin cepat-cepat beranjak dewasa dan merantau ke kota agar terhindar dari kekejaman ayahnya. Akan tetapi, Hujan merasa khawatir jika seusai lulus SMP nanti ia disuruh menikah sama seperti gadis-gadis Lipulalongo. Setelah tamat SMP, ternyata ayahnya menyekolahkan Hujan ke kota Makasar. Hujan senang bukan main. Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba, seluruh keluarganya termasuk Hasna mengantarkan Hujan berangkat ke dermaga. Ia akan naik kapal sampai ke kota Makasar. Ayahnya hanya mengantar Hujan sampai ke kabupaten. Di Makasar nanti, ia akan dijemput oleh sepupunya yang bernama Supandi, yang merupakan mahasiswa. Sesampainya di pelabuhan Soekarno Hatta kota Makasar, Hujan pun bertemu dengan sepupunya tersebut. Bagi Hujan, sepupunya lebih cocok jadi preman daripada jadi mahasiswa. Beberapa hari di kos Supandi, Hujan diperlakukan dengan sangat baik. Supandi tidur di tikar sedangkan Hujan tidur di ranjang. Akan tetapi, pada suatu malam sepupunya itu tidur di samping Hujan. Hujan ketakutan dan tidak tidur semalaman sambil berjaga menggenggam pisau.
Keesokan harinya, Hujan kabur dari kos terkutuk itu. Ia meminta bantuan teman-temannya untuk mencarikan kos. Hujan pun lebih mandiri, karena ia sekolah sambil bekerja di rental VCD. Saat liburan sekolah, Hujan pun pulang ke kampung halamannya. Ia membawa oleh-oleh yang sangat banyak, Hasar pun marah karena mengira uang yang dia kirim dipakai untuk membeli oleh-oleh. Akan tetapi, Hujan bilang kalau oleh-oleh itu dibeli dengan uangnya sendiri hasil dari bekerja di rental VCD. mendengar pengakuan Hujan, Hasar kembali marah. Karena tidak terima, Hujan akhirnya mengaku kalau sepupunya yang dibangga-banggakan oleh ayahnya tersebut nyaris memperkosanya. Hasar terdiam dan tak melanjutkan kemarahannya. Setiap kali Hujan, ia selalu menyempatkan untuk menemui Hasna. Mereka berkemah di pulau Kokungan. Ia juga mengunjungi neneknya dan menginap di sana walaupun ayahnya pasti akan memarahinya.
Setelah liburan usai, Hujan akan kembali ke kota. Kondisi keluarganya justru semakin parah, Hijria berkata kepada Hasna bahwa ia akan menikah dengan Abudanti seorang laki-laki pemabuk dan pengangguran. Padahal, saat itu usia Hijria baru 12 tahun. ia memutuskan untuk menikah karena ia berpikir bahwa jika ia menikah mungkin ayahnya tidak akan kasar lagi. Berita pernikahan Hijria pun sampai ke telinga Hujan, ia tiak habis pikir kenapa adiknya memutuskan untuk menikah di usia sangat dini. Rumah tangga Hijria tak lebih baik dari ayah dan ibunya, karena ipar dan ibu mertuanya sangat jahat dengan Hijria. Bahkan ketika Hijria dan suaminya tinggal sendiri di rumah pun mereka tetap mencampuri rumah tangga Hijria. suaminya juga kerap berlaku kasar. Akhirnya ia memutuskan untuk bercerai. Sedangkan Hasna sendiri, kini mengajar anak-anak yang tidak sekolah di rumahnya. Sebelum Hujan kembali kota, Hujan pun mengajari anak-anak untuk membaca dan menulis latin di rumah Hasna. Awalnya memang susah, karena tidak ada yang mau belajar akan tetapi, setelah diberi iming-iming permen mereka mau belajar membaca dan menulis.
Panu dan kudis yang diderita Hasna pun tak kunjung, justru semakin parah. Hingga akhirnya, anak-anak yang dulunya belajar di rumah Hasna dilarang oleh orangtuanya agar tidak kesana lagi karena tubuh Hasna mulai mengeluarkan aroma busuk. Pada akhirnya, Hasna diasingkan ke pulau Pedal. Sebuah pulau pengasingan. Hujan sangat sedih mendengar berita tersebut. saat ia pulang ke kampung halaman, ia pun segera menyusul Hasna ke pulau Pedal. ia sangat sedih karena tidak bisa memeluk tubuh Hasna. Ibunya sering menanyakan keadaan Hasna setelah Hujan menjenguk Hasna.
Pada saat musim barat tiba, badai mengahantam pulau pedal. Mereka saling berusaha melindungi. Di tengah-tengah tragedy tersebut, Hasna berkata jujur bahwa sebenarnya ia memiliki rahasia besar yang sedari dulu dirahasiakan dari Hujan. Ia mencintai Hujan. Pun dengan Hujan, Hujan ternyata juga mencintai Hasna. Sebuah rasa yang tidak wajar, karena mereka adalah sesame perempuan dan tidak seharusnya mereka saling mencintai sebagai layaknya sepasang kekasih. Sebelum mereka terhantam badai, Hasna bertanya apakah badai besar itu wujud dari kemurkaaan Tuhan karena mereka saling mencintai. Namun, Hujan berkata bahwa itu hanya gejala alam. Bukan sebuah kutukan. Mereka pun tewas diterpa badai.
Di pulau Lipulalongo, Hasar dan Mia dibuat bingung bukan kepalang karena Hujan tidak pulang. Mia memiliki firasat bahwa Hujan sedang dalam keadaann bahaya. Mereka dan warga pun mencari Hujan di pulau Pedal namun Hujan dan Hasna sudah tidak ada di sana. Seketika itu, Hasar sangat menyesal karena ia kehilangan Hujan, anak yang sering ia maki-maki dan ia pukul dengan kayu bakar. Sejak kejadian itu, Hasar pun tidak lagi berbuat kasar dan kejam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar