LEGENDA MALIN KUNDANG DAN LEGENDA BATU
MENANGIS: KAJIAN BUDAYA SUMATERA DAN
KALIMANTAN
Norma Tri Wibawati A.310110017
Anissatus Safriyah A.310110045
PBSID FKIP
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK
Masalah dalam penelitian ini adalah kajian budaya
Sumatera yang terdapat dalam Legenda Malin Kundang dan kajian budaya Kalimantan
yang terdapat dalam Legenda Batu Menangis. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui kebudayaan yang ada dalam Legenda Malin Kundang dan Legenda Batu
Menangis, serta mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam kedua
legenda tersebut. Kebudayaan yang ada di
Sumatera yaitu kebudayaan merantau, sedangkan kebudayaan yang ada di
Kalimantan adalah kebudayaan berdagang. Objek penelitian ini adalah kebudayaan
masyarakat sumatera dan Kalimantan. Kedua legenda tersebut memiliki beberapa
kesamaan, diantaranya kesamaan tokoh, tema, watak, dan tahap penyelesaiannya
yang pada akhirnya sama-sama berubah menjadi batu.
Kata
kunci: Kebudayaan, Merantau,
Berdagang.
A. Pendahuluan
Istilah
sastra bandingan diartikan sebagai upaya melacak kebenaran sastra dengan cara
menyejajarkan dua karya atau lebih yang memiki kemiripan (Endraswara, 2011: 5).
Sastra bandingan, dalam penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah
maupun bidang ilmu lain merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat
upaya bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana
pengaruh antar keduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang diberikannya.
Atas dasar inilah, penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari
satu sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari benang merahhnya.
Endraswara
(2011: 25-26) menyebutkan bahwa berdasarkan sejarahnya, sastra bandingan
mempunyai dua aliran. Pertama aliran Perancis yang juga disebut aliran lama.
Disebut demikian karena sastra bandingan lahir di negara Perancis dan dibidani
oleh para pemikir Perancis. Kedua, aliran Amerika yang disebut juga sebagai
aliran baru karena aliran ini mengembangkan aliran Perancis. Aliran Perancis
cenderung membandingkan antara dua karya sastra dari dua negara yang berbeda.
Sedangkan aliran Amerika membandingkan karya sastra yang dengan bidang ilmu
lain.
Dalam
kajian ini, kami mencoba melakukan perbandingan antara karya sastra dengan
bidang lain di luar karya sastra, yaitu bidang kebudayaan. Didalam sebuah karya
sastra, terkandung nilai-nilai kebudayaan. Etos kebudayaan, suatu kebudayaan
dari luar yang sering kali memancarkan suatu watak yang khas, seperti yang
tampak oleh orang yang berasal dari suatu kebudayaan lain (Fathoni,2006:39).
Marvin
Harris (dalam Spradley,2007: 5) mengungkapkan bahwa konsep kebudayaan
ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan sebagai pengetahuan
yang dipelajari orang sebagai suatu kelompok, tidak dapat diamati secara
langsung. Dimanapun, orang mempelajari kebudayaan mereka dengan mengamati orang
lain, mendengarkan mereka, dan kemudian membuat simpulan. Kadang kala
kebudayaan secara langsung disampaikan dengan bahasa sehingga kita dapat
membuat kesimpulan secara mudah.
Dalam
kaitannya dengan hal tersebut di atas, kami akan mencoba menguak bagaiamana
kebudayaan Sumatera dan Kalimantan yang nampak dalam sebuah legenda Malin
Kundang dan Batu Menangis. Legenda Malin Kundang merupakan legenda yang berasal
dari Sumatera Barat yaitu suku Minang.
B. Hasil dan Pembahasan
1.
Analisis Struktural Legenda Malin Kundang dan Legenda Batu Menangis
a.
Analisis Struktural Legenda Malin
Kundang
1)
Tema
Sebelum menentukan
tema, terlebih dahulu diuraiakan masalah-masalah yang terungkap dalam legenda Malin Kundang.
a)
Sebuah keluarga yang hidup
serba kekurangan. Keluarga Malin Kundang adalah keluarga yang sangat miskin, ayahnya pergi
merantau dan ibunya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
b)
Seorang anak yang awalnya
berbakti kepada ibunya, namun setelah merantau dan menjadi kaya ia durhaka
kepada ibunya. Saat Malin dewasa, ia
mengutarakan keinginannya kepada sang ibu bahwa ia ingin merantau agar ia
menjadi orang kaya. Namun setelah ia berhasil dan sukse, ia tidak mengakui
ibunya yang msikin sebagai ibu kandungnya, ia justru menganggap bahwa ibu
miskin tersebut adalah pengemis.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat diketahu bahwa tema dalam
legenda Malin Kundang adalah
kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya.
2)
Tokoh
a)
Malin
Malin
adalah seorang anak yang cerdas dan berbakti kepada ibunya. Hal tersebut tergambar
pada kalimat berikut: Malin kecil
adalah anak yang cedas dan sangat berbakti kepada ibunya. . Namun setelah ia sukses
dan menikah sifatnya berubah drastis. Ia menjadi anak yang durhaka dan tidak
mengakui ibunya. Ia mengatakan bahwa ibu tua yang mengaku sebagai
ibu kandungnya itu hanyalah seorang pengemis.
b)
Ibu
Seorang
wanita yang yang ditinggal merantau suaminya tanpa kabar sehingga ia harus
mencari nafkah sendiri. Semenjak
suaminya merantau, tidak mengirim kabar dan bertahun-tahun tidak pulang maka
ibu Malin bekerja seorang diri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bersama
Malin.
Ibu
yang pada awalnya sangat sabar dan sayang kepada malin, akhirnya menjadi sangat
marah karena Malin tidak mengakuinya sebagai ibu kandungnya. Saat
Malin tidak mengakuinya sebagai ibu kandungnya dan menganggap bahwa ia hanyalah
seorang pengemis miskin, sang ibu sangat kecewa sehingga mengutuk Malin menjadi
batu.
3)
Alur
Alur
dalam legenda Malin Kundang adalah
alur maju.
Tahap situation
(penyituasian). Tahap penyituasian diceritakan di awal yaitu tentang
kehidupan seorang wanita miskin yang ditinggal pergi suaminya. Ia memiliki anak
yang bernama Malin. Legenda Malin
Kundang berasal dari Sumatera Barat tepatnya terdapat di suku Minangkabau.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, di sebuah perkampungan di daerah pesisir
pantai ada keluarga yang hidup serba kekurangan yaitu keluarga Malin Kundang.
Keluarga tersebut terdiri dari Ayah, Ibu, dan Malin Kundang. Sang ayah pergi
merantau ke negeri seberang namun tidak pernah pulang sehingga ibunya harus
mencari nafkah seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tahap
generating circumstance (pemunculan
konflik). Konflik muncul ketika Malin dan istrinya melakukan pelayaran dan
melihat ibunya yang sudah tua
menghampirinya. Akan tetapi, begitu ibunya menghampiri Malin dan memeluknya yang
terjadi adalah si Malin melepaskan pelukan ibunya. Ia
pura-pura tidak mengenali ibu tua tersebut karena malu dengan istri dan anak
buahnya. Ia tidak ingin mereka tahu bahwa ibunya sangat miskin.
Tahap
rising action (konflik meningkat).
Peningkatan konflik terjadi ketika Malin tidak mau mengakui wanita tua lusuh yang
menghampirinya tersebut adalah ibunya. Malin sangat marah, ia justru berkata bahwa ibunya
adalah wanita yang tidak tahu diri karena telah mengaku-ngaku sebagai ibu
kandungnya. .
Tahap
climaxs (klimak). Klimak terjadi
ketika ibunya tidak dapat menahan amarah karena perbuatan anaknya yang tidak
mau mengakui ibunya. Lalu ia pun berdoa kepada Allah agar menghukum anaknya
yang durhaka. Doa sang ibu adalah agar jika benar yang
dihadapannya adalah Malin Kundang, maka ia meminta kepada Allah agar detik itu
juga Malin dikutuk menjadi batu.
Tahap
denoumen (penyelesaian). Allah
mengabulkan permintaan ibunya dan mengutuk Malin menjadi batu. Saat itu juga, tubuh Malin berubah menjadi batu
dan batu Malin tersebut dapat dijumpai di pantai Pasir Manis yang terletak di
Sumatera barat.
4)
Latar/Setting
Latar
tempat terjadi di desa terpencil di pesisir pantai Sumatera. Latar yang paling
dominan terjadi di dermaga kampung halamannya.
5)
Sudut Pandang (Point of View)
Sudut
pandang pengarang dalam menyampaikan cerita adalah sebagai orang ketiga serba
tahu.
b.
Analisis Struktural Legenda Batu
Menangis
a.
Tema
Tema
berasal dari masalah-masalah yang ada dalam legenda Batu Menangis. Sebelum menentukan tema, terlebih dahulu diuraiakan
masalah-masalah dalam legenda tersebut, seperti:
1)
Seorang Gadis yang Berperilaku
Buruk dan Sombong
Seorang
gadis yang berperilaku buruk dibuktikan dengan kalimat berikut:Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu
ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah (Hidayat, 1999: 2).
Selain
itu, gadis tersebut juga sombong. anak
gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang sangat bagus dan
bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya
(Hidayat, 1999:72).
Sifat
buruk gadis itu juga tampak ketika si gadis digoda dan ditanya mengenai siapa
wanita yang berjalan dibelakangnya lalu dijawab bahwa wanita tersebut adalah
budaknya, padahal wanita itu adalah ibu kandungnya.
Berdasarkan
uraian masalah-masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa tema Legenda Batu Menangis tersebut adalah kedurhakaan
seorang gadis terhadap ibu kandungnya sendiri yang yang dianggap sebagai
pembantu/budaknya.
2)
Tokoh
a)
Seorang Gadis
Tokoh
seorang gadis dalam legenda Batu Menangis
digambarkan sebagai seorang gadis yang cantik jelita namun perangainya
buruk. Anak gadis itu sangat cantik
jelita. Namun sayang, ia memiliki perilaku yang amat buruk
(Hidayat, 1999: 72).
Gadis
tersebut sangat durhaka kepada ibu kandungnya. begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan
yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan
sebagai pembantu atau budaknya (Hidayat,
1999: 74).
Gadis
tersebut sangat pemalas. Gadis itu amat
pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Kerjanya hanya bersolek setiap hari (Hidayat, 1999:72).
Gadis
tersebut juga sangat sombong. Anak gadis
itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus, dan bersolek agar
orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya
(Hidayat, 1999: 72).
Selain
sombong, pemalas, dan durhaka, gadis tersebut juga sangat manja. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap
kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan
(Hidayat, 1999: 72).
b)
Ibu
Ibu
dalam legenda Batu menangis digambarkan
sebagai seorang janda miskin. Hiduplah
seorang janda miskin dan anak gadisnya (Hidayat, 1999: 72).
Ia
memiliki sifat sabar namun akhirnya menjadi murka karena tidak mampu menahan amarah
akibat perilaku anak kandungnya. Pada mulanya
mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat
menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawaban yang sama dan
amat menyakitkan hati, akhirnya ibu yang malang pun tak dapat menahan diri. Si
ibu itu berdoa. “Ya, Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung
hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan
hukumlah anak durhaka ini ! hukumlah dia agar menjadi batu....” (Hidayat, 1999: 74).
3)
Alur
Alur
yang digunakan dalam legenda batu menangis adalah alur maju.
Tahap
situation atau penyituasian,
diceritakan pada awal cerita yaitu tentang kehidupan seorang janda miskin dan
anak gadisnya. Di sebuah bukit yang jauh
dari desa, di daerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan anak gadisnya
(Hidayat, 1999: 72).
Tahap
generating circumstance (pemunculan
konflik). Konflik muncul ketika ada seorang pemuda yang bertanya kepada gadis
itu tentang siapa yang berjalan dibelakangnya. Namun, gadis itu tidak mengakui
bahwa itu adalah ibu kandungnya. Ia mengatakan kepada pemuda itu bahwa wanita
yang berjalan di belakangnya adalah pembantunya.
Tahap
rising action (konflik meningkat).
Ketika ibu dan anak itu meneruskan perjalanan dan ada seorang pemuda yang
mendekat yang menanyakan hal serupa seperti sebelumnya dan gadis itu lagi-lagi
tidak mengakui bahwa yang berjalan bersama dia adalah ibu kandungnya. Justru,
ibunya dianggap sebagai budak. Bukan,
bukan. Jawab gadis itu dengan mendongkakkan kepalanya. “ia adalah budakku(Hidayat,
1999: 74).
Tahap
climax (klimaks). Ibu itu tak dapat
menahan amarah karena perbuatan anaknya lalu ia pun berdoa kepada Allah agar
menghukum anaknya yang durhaka.“Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini !
hukumlah dia agar menjadi batu....” (Hidayat, 1999: 74).
Tahap
denoumen (penyelesaian). Allah
mendengar doa ibu yang malang tersebut dan mengabulkan permintaan sang ibu
tersebut. Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha
Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu
(Hidayat, 1999: 75).
4)
Latar/ setting
Latar
legenda Batu Menangis tersebut
terjadi di daerah Kalimantan. Akan tetapi, sebagian besar terjadi di pasar desa
yang jauh dari tempat tinggalnya. Pada
suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak
pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup
melelahkan (Hidayat, 1999: 72).
5)
Sudut Pandang (Point of View)
Sudut
pandang pengarang dalam menyampaikan cerita adalah sebagai orang ketiga serba
tahu.
A. Persamaan dan Perbedaan Unsur
Cerita Legenda Malin Kundang dan Batu Menangis
Legenda
Malin Kundang dan Batu Menangis memiliki beberapa persamaan, antara lain : Kedua
legenda ini sama-sama mengangkat tema tentang kedurhakaan seorang anak terhadap
ibu kandungnya. Alasannya yaitu karena malu memiliki ibu yang tua dan miskin. Tokoh
Malin dalam legenda Malin Kundang dan tokoh seorang gadis pada legenda Batu
Menangis sama-sama merupakan tokoh seorang anak yang berasal dari keluarga
miskin dan durhaka terhadap ibunya. Mereka tidak mengakui ibunya di depan
orang-orang karena malu memiliki ibu yang tua dan miskin. Tokoh ibu dari kedua
cerita tersebut merupakan ibu yang sabar dan sayang kepada anaknya namun
setelah diperlakukan secara keterlaluan oleh anaknya, maka mereka murka kepada
anaknya dan berdoa kepada Allah agar anaknya dikutuk menjadi batu. Kedua alur
dalam cerita tersebut menggunakan alur maju, yaitu alur yang menceritakan
peristiwa-peristiwa secara urut dan runtut dari awal sampai akhir.
Selain
terdapat persamaan, adapula perbedaan yang nampak dalam kedua cerita tersebut.
Perbedaan tersebut di antaranya adalah perbedaan tokohnya, yaitu tokoh Malin
dalam Legenda Malin Kundang tidak sempat meminta ampun kepada ibunya saat
dikutuk menjadi batu, sedangkan tokoh seorang gadis dalam legenda Batu Menangis
masih sempat memohon ampun kepada ibunya meskipun pada akhirnya keduanya
sama-sama menjadi batu. Tokoh Ibu dalam legenda Malin Kundang ditinggal merantau
oleh suaminya namun tidak pernah ada kabar dari suaminya, sedangkan tokoh Ibu
dalam legenda Batu Menangis merupakan seorang janda. Perbedaan kedua adalah
perbedaan yang nampak pada latar cerita. Legenda Malin Kundang terjadi di dermaga
pantai di suatu desa yang terletak di Sumatera Barat. Bukti batunya terdapat di
pantai Air Manis. Sedangkan legenda Batu Menangis terjadi di suatu pasar yang
berada di Kalimantan.
B. Kajian Budaya Sumatera dalam
Legenda Malin Kundang dan Budaya Kalimantan dalam Legenda Batu Menangis
Banyak
kebudayaan yang mempunyai satu unsur kebudayaan atau beberapa pranata tertentu
yang merupakan unsur pokok dalam kebudayaan mereka, sehingga unsur itu disukai
oleh sebagian warga dari masyarakatnya, dan dengan demikian, mendominasi banyak
kegiatan atau pranata lain dalam kehidupan masyarakat mereka (Fathoni, 2006:
38). Malinowski menulis etnografi
tentang kebudayaan penduduk Throbrind secara terintegrasi, dengan fokus
terhadap kulak, maka seorang ahli antropologi misalnya dapat menyusun karangan
etnografi yang holistik terintegrasi mengenai kebudayaan Bali, dengan memakai
“kesenian” sebagai pangkal fokus. Demikian juga, karangan etnografi yang
holistik mengenai kebudayaan “priyayi” di Jawa Tengah, misalnya dapat
menggunakan fokus gerakan-gerakan kebatinan sebagai fokus (Fathoni, 2006: 39).
Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka kami mencoba melakukan kajian sastra
banding terhadap legenda Malin Kundang dan Batu Menangis dengan melihat dari
sudut pandang budaya Sumatera dan Kalimantan berdasarkan kedua legenda
tersebut.
Di
dalam Legenda Malin Kundang misalnya, kebudayaan yang nampak pada legenda
tersebut adalah kebudayaan merantau untuk mencaripenghidupan yang lebih layak
melalui kebudayaan merantau yang masih berjalan sampai saat ini. Seperti yang
telah kami bahas sebelumnya, bahwa kebudayaan merantau identik dengan anggota
masyarakat Minangkabau. Merantau sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari
masyarakat Minangkabau. Untuk lebih jelasnya, istilah merantau sendiri
diartikan “migrasi”, akan tetapi “merantau” adalah tipe khusus dari migrasi
dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris atau bahasa Barat manapun. Menurut Naim (2003: 3) merantau
adalah istilah Melayu, Indonesia, dan Minangkabau yang sama arti dalam
pemakaiannya dengan akar kata “rantau”. Rantau sendiri menurut Winsedt,
Iskandar, dan Purwadarminta dalam Naim (2013:3) ialah kata benda yang berarti
dataran rendah atau alirang sungai, jadi biasanya terletak dekat ke –atau
bagian dari daerah pesisir, sedangkan merantau ialah kata kerja yang berawalan
“me-“ yang berarti “pergi ke rantau”.
Bila
dilihat dari sudut pandangh sosiologi, Naim (2013: 3) menyebutkan bahwa budaya
merantau sedikitnya mengandung enam unsur pokok, antara lain:
(1)
meninggalkan kampung halaman;
(2)
dengan kemauan sendiri;
(3)
untuk jangka waktu lama atau
tidak;
(4)
dengan tujuan mencari penghidupan,
menuntut ilmu atau mencari pengalaman;
(5)
biasanya dengan maksud kembali
pulang;
(6)
merantau ialah lembaga sosial yang
membudaya.
Budaya merantau pun nampak dalam
legenda Malin Kundang. Buktinya,
Ayah Malin merantau untuk memenuhi kebutuhan hidup walaupun pada akhirnya ia
tidak kembali. Ketika beranjak dewasa pun Malin juga pergi merantau. Tujuannya
sama, yaitu untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Hal tersebut merupakan sebuah bukti yang cukup mendasari bahwa merantau
mengandung unsur meninggalakan kampung halaman berdasarkan kemauannya sendiri
yang bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak agar dapat kembali ke
kampung halaman kelak sesuai dengan unsur yang disampaikan oleh Naim seperti
dalam pembahasan di atas.
Apabila budaya Merantau nampak dalam
legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat, berbeda dengan budaya yang nampak
dalam legenda Batu Menangis dari Kalimantan. Di dalam
legenda tersebut tidak nampak budaya merantau karena masyarakat kalimantan
lebih senang memanfaatkan kekayaan alam yang ada dengan cara berdagang. Riwut
(1993:7) mengungkapkan bahwa Kalimantan merupakan pulau terbesar di seluruh
Indonesia, yang dilingkari oleh khatulistiwa atau ekuator, disamping terkenal
dengan sungai-sungainya yang lebar, dalam dan panjang juga terkenal dengan
hutannya yang lebat yang sebagian besar belum pernah diinjak oleh telapak kaki
manusia. Tokoh Gadis dan Ibunya pun tinggal di bukit yang jauh dari desa atau
bisa dikatakan hutan bukit-bukit. Untuk berbelanja harus ke pasar yang jauh
dari tempat tinggalnya. Di desa tersebut, mayoritas masyarakatnya berdagang di
pasar. Mereka memanfaatkan kekayaan alam di tanah Kalimantan yang hasilnya
untuk dijual. Jadi, kebudayaan Kalimantan yang nampak dalam legenda Batu
Menangis adalah kebudayaan Berdagang.
C.
Simpulan
Dalam
legenda Malin Kundang dan legenda Batu Menangis memiliki beberapa kesamaan
unsur-unsur intrinsik, salah satunya adalah persamaan tokoh-tokohnya, yaitu
tokoh Malin dan Gadis yang sama-sama berasal dari keluarga yang miskin. Selain
itu keduanya juga merupakan anak yang durhaka terhadap ibu kandungnya. Di akhir
cerita keduanya dikutuk menjadi batu. Sedangkan kesamaan tokoh ibu, terletak
pada perwatakannya. Tokoh ibu tersebut merupakan tokoh yang sabar dan
menyayangi anaknya, namun karena kelakuan anaknya yang sangat keterlaluan maka
sang ibu menjadi murka dan berdoa kepada Allah untuk menghukum anaknya menjadi
batu.
Akan
tetapi, keduanya juga memiliki perbedaan. Tokoh Malin saat dikutuk, tidak
sempat meminta maaf pada ibunya sedangkan tokoh gadis masih sempat meminta maaf
saat separuh tubuhnya berubah menjadi batu walaupun akhirnya sama-sama menjadi
batu. Tokoh ibu dalam Legenda Malin Kundang meskipun hanya tinggal berdua
bersama anaknya, namun dia bukan seorang janda. Sedangkan tokoh ibu pada
legenda Malin Kundang merupakan seorang janda.
Dalam
kajian kebudayaan, ditemukan kebudayaan Minangkabau yang nampak dalam Legenda
Malin Kundang yaitu kebudayaan merantau yang dilakukan oleh anggota masyarakat
suku Minang, dalam legenda Batu Menangis yang nampak adalah kebudayaan
berdagang. Kebudayaan berdagang yang terdapat dalam legenda Batu Menangis juga
nampak dalam legenda Malin Kundang akan tetapi, budaya merantau dalam legenda
Malin Kundang tidak nampak dalam legenda Batu Menangis.
D.
Daftar Pustaka
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra
Bandingan.Jakarta: Bukupop.
Fathoni,
Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya:
Suatu Pengantar.Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat,
Kidh.1999. Kumpulan Cerita Rakyat
Nusantara. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan.
Idhank, Vieya. 2013. Legenda Malin Kundang. http://kisahlawas.blogspot.com/2013/04/legenda-malin-kundang.html. Diakses pada 18 Desember 2013.
Naim, Mochtar. 2013. Merantau:
Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan
Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Spradley, James P. 2007. Metode
Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
LAMPIRAN
SINOPSIS LEGENDA MALIN KUNDANG
(Cerita Rakyat Sumatera)
Legenda Malin Kundang berasal dari provinsi
Sumatera Barat tepatnya di suku Minangkabau. Konon ceritanya, pada jaman dulu
di daerah tersebut ada keluarga yang sangat miskin. Hidupnya serba kekurangan.
Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, dan satu orang anak laki-lakinya yang
bernama Malin Kundang. Malin kecil adalah anak yang cukup cerdas, berbakti
kepada ibunya walaupun agak nakal. Sejak kecil, ia sudah ditinggal merantau
oleh ayahnya. Akan tetapi, sang ayah tidak pernah pulang lagi ke kampungnya dan
tidak ada kabar sekali. Oleh karena itu, ibunya bekerja untuk mencukupi
kebutuhan sehari-harinya bersama Malin.
Saat menginjak dewasa, Malin pun memiliki
inisiatif untuk pergi merantau sama seperti ayahnya agar ia menjadi kaya
sehingga ibunya tidak perlu susah payah bekerja. Ia pun mengutarakan
keinginannya kepada sang ibu, namun ibunya tidak setuju. Malin tidak putus asa
dalam membujuk ibunya, lama-kelamaan ibunya pun luluh dan mengijinkan Malin
untuk pergi merantau meski berat hati. Akhirnya, setelah hari itu tiba Malin
berangkat merantau dengan menaiki kapal. Kepergian Malin diiringi tangisan dari
ibunya karena sudah sejak kecil mereka tinggal bersama-sama dan ibunya takut
jika Malin tidak pulang sama seperti ayahnya. Sebelum kapal melaju, Malin
berjanji kalau ia sudah kaya nanti ia akan mengajak ibunya tinggal di kota
bersamanya.
Kapal pun melaju, lama-kelamaan laju kapal
tidak terlihat lagi dan ibu Malin berusaha untuk tetap tegar. Di tengah
perjalanan, tiba-tiba kapal yang ditumpangi Malin dihadang oleh bajak laut.
Semua harta di kapal di rampas. Karena kecerdasannya, Malin pun bersembunyi di
tempat yang dirasa aman sehingga ia tidak menjadi korban bajak laut. Kapal yang
ditumpangi terdampar di sebuah pulau yang tanahnya cukup subur dan belum
berpenduduk. Dengan kegigihan dan keuletannya, ia pun menggarap tanah tersebut
hingga hasilnya melimpah ruah dan ia memiliki banyak anak buah. Tak hanya itu,
ia pun kemudian menikahi seorang gadis cantik.
Pada suatu ketika, Malin dan istrinya beserta
anak buahnya melakukan pelayaran ke sebuah kampung. Mereka berlayar menuju
kampung asal Malin. Kedatangan Malin pun disambut suka cita oleh penduduk, tak
terkecuali sang ibu. Ibunya merasa sangat merindukan Malin karena
bertahun-tahun tidak berjumpa. Ia menunggu kedatangan kapal Malin di tepi
pantai. Kapal yang ditunggu-tunggu pun semakin mendekat, ia semakin jelas
melihat ada Malin di sana bersama seorang wanita dan anak buahnya yang sangat
banyak.
Ibu Malin mendekat dan menangis melihat Malin
yang begitu dirindukannya. Begitu yakin bahwa itu adalah Malin anaknya, sang
ibu pun mencoba memeluk Malin. Akan tetapi, Malin tidak mau dipeluk oleh
ibunya. Malin berkata kepada istrinya dan seluruh anak buahnya bahwa ia tidak
mengenal wanita yang hendak memeluknya itu. Ibu malin menangis sejadi-jadinya
dengan pernyataan Malin tersebut. ia merasa kecewa karena Malin telah berubah
menjadi anak yang durhaka. Kekecewaan Ibu Malin semakin memuncak saat Malin
mengatakan ke semua orang bahwa ia bukan ibunya melainkan adalah pengemis yang
mengaku-ngaku sebagai ibunya karena Malin adalah saudagar yang sangat kaya.
Karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit, akhirnya ibu Malin bersumpah
bahwa jika benar lelaki sombong itu adalah Malin maka biarlah Tuhan mengutuknya
menjadi batu. Doa sang ibu diijabah oleh Allah dan akhirnya pelan tapi pasti
tubuh Malin berubah menjadi batu. Menurut kepercayaan penduduk setempat, cerita
tersebut benar adanya dan batu Malin dapat ditemui di Pantai Air Manis Sumatera
Barat.
SINOPSIS LEGENDA BATU MENANGIS
(Cerita Rakyat Kalimantan)
Legenda Batu Menangis berasal dari provinsi
Kalimantan. Konon katanya, pada jaman dulu kala di suatu tempat yang jauh dari
perkotaan tinggal seorang anak gadis yang sangat cantik dan ibunya yang sudah
tua. Gadis tersebut hobi berdandan untuk menarik perhatian pemuda desa. Ia
senang sekali menggunakan pakaian yang mewah, padahal hidupnya miskin dan
pakaian ibunya pun compang-camping tak layak pakai. Gadis tersebut sangat
malas, ia tidak sudi membantu ibunya di rumah. Setiap hari hanya berdandan,
berdandan, dan berdandan. Ayahnya sudah lama meninggal sehingga ibunya
sendirilah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Pada suatu hari, ibunya mengajak anak gadisnya
untuk berbelanja ke pasar yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sang
anak bejalan di depan ibunya. Sepanjang perjalanan, gadis tersebut memamerkan
keindahan bajunya dan kecantikannya. Para pedagang dan masyarakat pun terpukau
oleh kecantikannya. Akan tetapi, karena sang gadis berjalan bersama ibu-ibu tua
yang berpakaian compang-camping, maka banyak yang penasaran perihal siapa
orangtua tersebut.
Dalam perjalanan, banyak pemuda desa yang
bertanya kepada gadis tersebut tentang identitas ibu tua tersebut. Gadis
tersebut menjawab bahwa ibu tua itu adalah pembantunya. Ibunya pun senantiasa
sabar dan tidak marah pada anaknya. Setelah melanjutkan perjalanan, ada
beberapa pemuda yang menanyakan hal yang sama dan tetap sang gadis menjawab
bahwa itu adalah pembantunya. Selang beberapa lama, ada pemuda lagi yang
menanyakan hal yang sama lagi. Akan tetapi, sang gadis menjawab bahwa ibu tua
yang sebenarnya ibu kandungnya itu adalah budaknya.
Setelah berkali-kali ibunya dianggap pembantu
dan budak anaknya sendiri maka sang ibu tak mampu lagi menahan kesabaran. Tak
disangka-sangka, sang ibu berdoa kepada Tuhan dan mengutuk anaknya agar ia
menjadi batu. Saat sumpah itu terucap, langit tiba-tiba mendung dan terdengar
suara petir, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka tersebut berubah menjadi batu.
Saat setengah tubuhnya berubah menjadi batu, gadis tersebut menangis memohon
ampun namun sudah terlambat. Seluruh tubuhnya berubah menjadi batu, dan patung
tersebut mengeluarkan air mata sehingga oleh masyarakat sekitar disebut Batu
Menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar