Sabtu, 15 Agustus 2015

Sastra Banding Legenda Malin Kundang dan Batu Menangis: Kajian Budaya Sumatera dan Kalimantan


LEGENDA MALIN KUNDANG DAN LEGENDA BATU MENANGIS: KAJIAN BUDAYA SUMATERA  DAN KALIMANTAN
Norma Tri Wibawati   A.310110017
Anissatus Safriyah      A.310110045

PBSID FKIP
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK
Masalah dalam penelitian ini adalah kajian budaya Sumatera yang terdapat dalam Legenda Malin Kundang dan kajian budaya Kalimantan yang terdapat dalam Legenda Batu Menangis. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kebudayaan yang ada dalam Legenda Malin Kundang dan Legenda Batu Menangis, serta mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam kedua legenda tersebut. Kebudayaan yang ada di  Sumatera yaitu kebudayaan merantau, sedangkan kebudayaan yang ada di Kalimantan adalah kebudayaan berdagang. Objek penelitian ini adalah kebudayaan masyarakat sumatera dan Kalimantan. Kedua legenda tersebut memiliki beberapa kesamaan, diantaranya kesamaan tokoh, tema, watak, dan tahap penyelesaiannya yang pada akhirnya sama-sama berubah menjadi batu.
Kata kunci: Kebudayaan, Merantau, Berdagang.  
A.  Pendahuluan
Istilah sastra bandingan diartikan sebagai upaya melacak kebenaran sastra dengan cara menyejajarkan dua karya atau lebih yang memiki kemiripan (Endraswara, 2011: 5). Sastra bandingan, dalam penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah maupun bidang ilmu lain merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh antar keduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah, penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari benang merahhnya.
Endraswara (2011: 25-26) menyebutkan bahwa berdasarkan sejarahnya, sastra bandingan mempunyai dua aliran. Pertama aliran Perancis yang juga disebut aliran lama. Disebut demikian karena sastra bandingan lahir di negara Perancis dan dibidani oleh para pemikir Perancis. Kedua, aliran Amerika yang disebut juga sebagai aliran baru karena aliran ini mengembangkan aliran Perancis. Aliran Perancis cenderung membandingkan antara dua karya sastra dari dua negara yang berbeda. Sedangkan aliran Amerika membandingkan karya sastra yang dengan bidang ilmu lain.
Dalam kajian ini, kami mencoba melakukan perbandingan antara karya sastra dengan bidang lain di luar karya sastra, yaitu bidang kebudayaan. Didalam sebuah karya sastra, terkandung nilai-nilai kebudayaan. Etos kebudayaan, suatu kebudayaan dari luar yang sering kali memancarkan suatu watak yang khas, seperti yang tampak oleh orang yang berasal dari suatu kebudayaan lain (Fathoni,2006:39).
Marvin Harris (dalam Spradley,2007: 5) mengungkapkan bahwa konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan sebagai pengetahuan yang dipelajari orang sebagai suatu kelompok, tidak dapat diamati secara langsung. Dimanapun, orang mempelajari kebudayaan mereka dengan mengamati orang lain, mendengarkan mereka, dan kemudian membuat simpulan. Kadang kala kebudayaan secara langsung disampaikan dengan bahasa sehingga kita dapat membuat kesimpulan secara mudah.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, kami akan mencoba menguak bagaiamana kebudayaan Sumatera dan Kalimantan yang nampak dalam sebuah legenda Malin Kundang dan Batu Menangis. Legenda Malin Kundang merupakan legenda yang berasal dari Sumatera Barat yaitu suku Minang.

B.  Hasil dan Pembahasan
1.    Analisis Struktural Legenda Malin Kundang dan Legenda Batu Menangis
a.    Analisis Struktural Legenda Malin Kundang
1)      Tema
Sebelum menentukan tema, terlebih dahulu diuraiakan masalah-masalah yang terungkap dalam legenda Malin Kundang.
a)      Sebuah keluarga yang hidup serba kekurangan. Keluarga Malin Kundang adalah keluarga yang sangat miskin, ayahnya pergi merantau dan ibunya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
b)      Seorang anak yang awalnya berbakti kepada ibunya, namun setelah merantau dan menjadi kaya ia durhaka kepada ibunya. Saat Malin dewasa, ia mengutarakan keinginannya kepada sang ibu bahwa ia ingin merantau agar ia menjadi orang kaya. Namun setelah ia berhasil dan sukse, ia tidak mengakui ibunya yang msikin sebagai ibu kandungnya, ia justru menganggap bahwa ibu miskin tersebut adalah pengemis.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat diketahu bahwa tema dalam legenda Malin Kundang adalah kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya.


2)   Tokoh
a)    Malin
Malin adalah seorang anak yang cerdas dan berbakti kepada ibunya. Hal tersebut tergambar pada kalimat berikut: Malin kecil adalah anak yang cedas dan sangat berbakti kepada ibunya. .  Namun setelah ia sukses dan menikah sifatnya berubah drastis. Ia menjadi anak yang durhaka dan tidak mengakui ibunya. Ia mengatakan bahwa ibu tua yang mengaku sebagai ibu kandungnya itu hanyalah seorang pengemis.
b)   Ibu
Seorang wanita yang yang ditinggal merantau suaminya tanpa kabar sehingga ia harus mencari nafkah sendiri. Semenjak suaminya merantau, tidak mengirim kabar dan bertahun-tahun tidak pulang maka ibu Malin bekerja seorang diri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bersama Malin.
Ibu yang pada awalnya sangat sabar dan sayang kepada malin, akhirnya menjadi sangat marah karena Malin tidak mengakuinya sebagai ibu kandungnya. Saat Malin tidak mengakuinya sebagai ibu kandungnya dan menganggap bahwa ia hanyalah seorang pengemis miskin, sang ibu sangat kecewa sehingga mengutuk Malin menjadi batu.

3)   Alur
Alur dalam legenda Malin Kundang adalah alur maju.
Tahap situation (penyituasian). Tahap penyituasian diceritakan di awal yaitu tentang kehidupan seorang wanita miskin yang ditinggal pergi suaminya. Ia memiliki anak yang bernama Malin. Legenda Malin Kundang berasal dari Sumatera Barat tepatnya terdapat di suku Minangkabau. Menurut kepercayaan penduduk setempat, di sebuah perkampungan di daerah pesisir pantai ada keluarga yang hidup serba kekurangan yaitu keluarga Malin Kundang. Keluarga tersebut terdiri dari Ayah, Ibu, dan Malin Kundang. Sang ayah pergi merantau ke negeri seberang namun tidak pernah pulang sehingga ibunya harus mencari nafkah seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tahap generating circumstance (pemunculan konflik). Konflik muncul ketika Malin dan istrinya melakukan pelayaran dan melihat ibunya yang sudah tua menghampirinya. Akan tetapi, begitu ibunya menghampiri Malin dan memeluknya yang terjadi adalah si Malin melepaskan pelukan ibunya. Ia pura-pura tidak mengenali ibu tua tersebut karena malu dengan istri dan anak buahnya. Ia tidak ingin mereka tahu bahwa ibunya sangat miskin.
Tahap rising action (konflik meningkat). Peningkatan konflik terjadi ketika Malin tidak mau mengakui wanita tua lusuh yang menghampirinya tersebut adalah ibunya. Malin sangat marah, ia justru berkata bahwa ibunya adalah wanita yang tidak tahu diri karena telah mengaku-ngaku sebagai ibu kandungnya. .
Tahap climaxs (klimak). Klimak terjadi ketika ibunya tidak dapat menahan amarah karena perbuatan anaknya yang tidak mau mengakui ibunya. Lalu ia pun berdoa kepada Allah agar menghukum anaknya yang durhaka. Doa sang ibu adalah agar jika benar yang dihadapannya adalah Malin Kundang, maka ia meminta kepada Allah agar detik itu juga Malin dikutuk menjadi batu.
Tahap denoumen (penyelesaian). Allah mengabulkan permintaan ibunya dan mengutuk Malin menjadi batu. Saat itu juga, tubuh Malin berubah menjadi batu dan batu Malin tersebut dapat dijumpai di pantai Pasir Manis yang terletak di Sumatera barat.

4)   Latar/Setting
Latar tempat terjadi di desa terpencil di pesisir pantai Sumatera. Latar yang paling dominan terjadi di dermaga kampung halamannya.

5)   Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang pengarang dalam menyampaikan cerita adalah sebagai orang ketiga serba tahu.

b.    Analisis Struktural Legenda Batu Menangis
a.    Tema
Tema berasal dari masalah-masalah yang ada dalam legenda Batu Menangis. Sebelum menentukan tema, terlebih dahulu diuraiakan masalah-masalah dalam legenda tersebut, seperti:
1)   Seorang Gadis yang Berperilaku Buruk dan Sombong
Seorang gadis yang berperilaku buruk dibuktikan dengan kalimat berikut:Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah (Hidayat, 1999: 2).
Selain itu, gadis tersebut juga sombong. anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang sangat bagus dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya (Hidayat, 1999:72).
Sifat buruk gadis itu juga tampak ketika si gadis digoda dan ditanya mengenai siapa wanita yang berjalan dibelakangnya lalu dijawab bahwa wanita tersebut adalah budaknya, padahal wanita itu adalah ibu kandungnya.
Berdasarkan uraian masalah-masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa tema Legenda Batu Menangis tersebut adalah kedurhakaan seorang gadis terhadap ibu kandungnya sendiri yang yang dianggap sebagai pembantu/budaknya.

2)   Tokoh
a)    Seorang Gadis
Tokoh seorang gadis dalam legenda Batu Menangis digambarkan sebagai seorang gadis yang cantik jelita namun perangainya buruk. Anak gadis itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia memiliki perilaku yang amat buruk (Hidayat, 1999: 72).
Gadis tersebut sangat durhaka kepada ibu kandungnya. begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya (Hidayat, 1999: 74).
Gadis tersebut sangat pemalas. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari (Hidayat, 1999:72).
Gadis tersebut juga sangat sombong. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus, dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya (Hidayat, 1999: 72).
Selain sombong, pemalas, dan durhaka, gadis tersebut juga sangat manja. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan (Hidayat, 1999: 72).
b)   Ibu
Ibu dalam legenda Batu menangis digambarkan sebagai seorang janda miskin. Hiduplah seorang janda miskin dan anak gadisnya (Hidayat, 1999: 72).
Ia memiliki sifat sabar namun akhirnya menjadi murka karena tidak mampu menahan amarah akibat perilaku anak kandungnya. Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawaban yang sama dan amat menyakitkan hati, akhirnya ibu yang malang pun tak dapat menahan diri. Si ibu itu berdoa. “Ya, Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini ! hukumlah dia agar menjadi batu....” (Hidayat, 1999: 74).
3)   Alur
Alur yang digunakan dalam legenda batu menangis adalah alur maju.
Tahap situation atau penyituasian, diceritakan pada awal cerita yaitu tentang kehidupan seorang janda miskin dan anak gadisnya. Di sebuah bukit yang jauh dari desa, di daerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan anak gadisnya (Hidayat, 1999: 72).
Tahap generating circumstance (pemunculan konflik). Konflik muncul ketika ada seorang pemuda yang bertanya kepada gadis itu tentang siapa yang berjalan dibelakangnya. Namun, gadis itu tidak mengakui bahwa itu adalah ibu kandungnya. Ia mengatakan kepada pemuda itu bahwa wanita yang berjalan di belakangnya adalah pembantunya.
Tahap rising action (konflik meningkat). Ketika ibu dan anak itu meneruskan perjalanan dan ada seorang pemuda yang mendekat yang menanyakan hal serupa seperti sebelumnya dan gadis itu lagi-lagi tidak mengakui bahwa yang berjalan bersama dia adalah ibu kandungnya. Justru, ibunya dianggap sebagai budak. Bukan, bukan. Jawab gadis itu dengan mendongkakkan kepalanya. “ia adalah budakku(Hidayat, 1999: 74).
Tahap climax (klimaks). Ibu itu tak dapat menahan amarah karena perbuatan anaknya lalu ia pun berdoa kepada Allah agar menghukum anaknya yang durhaka.“Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini ! hukumlah dia agar menjadi batu....” (Hidayat, 1999: 74).
Tahap denoumen (penyelesaian). Allah mendengar doa ibu yang malang tersebut dan mengabulkan permintaan sang ibu tersebut. Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu (Hidayat, 1999: 75).

4)   Latar/ setting
Latar legenda Batu Menangis tersebut terjadi di daerah Kalimantan. Akan tetapi, sebagian besar terjadi di pasar desa yang jauh dari tempat tinggalnya. Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan (Hidayat, 1999: 72).

5)   Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang pengarang dalam menyampaikan cerita adalah sebagai orang ketiga serba tahu.

A.  Persamaan dan Perbedaan Unsur Cerita Legenda Malin Kundang dan Batu Menangis
Legenda Malin Kundang dan Batu Menangis memiliki beberapa persamaan, antara lain : Kedua legenda ini sama-sama mengangkat tema tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibu kandungnya. Alasannya yaitu karena malu memiliki ibu yang tua dan miskin. Tokoh Malin dalam legenda Malin Kundang dan tokoh seorang gadis pada legenda Batu Menangis sama-sama merupakan tokoh seorang anak yang berasal dari keluarga miskin dan durhaka terhadap ibunya. Mereka tidak mengakui ibunya di depan orang-orang karena malu memiliki ibu yang tua dan miskin. Tokoh ibu dari kedua cerita tersebut merupakan ibu yang sabar dan sayang kepada anaknya namun setelah diperlakukan secara keterlaluan oleh anaknya, maka mereka murka kepada anaknya dan berdoa kepada Allah agar anaknya dikutuk menjadi batu. Kedua alur dalam cerita tersebut menggunakan alur maju, yaitu alur yang menceritakan peristiwa-peristiwa secara urut dan runtut dari awal sampai akhir.
Selain terdapat persamaan, adapula perbedaan yang nampak dalam kedua cerita tersebut. Perbedaan tersebut di antaranya adalah perbedaan tokohnya, yaitu tokoh Malin dalam Legenda Malin Kundang tidak sempat meminta ampun kepada ibunya saat dikutuk menjadi batu, sedangkan tokoh seorang gadis dalam legenda Batu Menangis masih sempat memohon ampun kepada ibunya meskipun pada akhirnya keduanya sama-sama menjadi batu. Tokoh Ibu dalam legenda Malin Kundang ditinggal merantau oleh suaminya namun tidak pernah ada kabar dari suaminya, sedangkan tokoh Ibu dalam legenda Batu Menangis merupakan seorang janda. Perbedaan kedua adalah perbedaan yang nampak pada latar cerita. Legenda Malin Kundang terjadi di dermaga pantai di suatu desa yang terletak di Sumatera Barat. Bukti batunya terdapat di pantai Air Manis. Sedangkan legenda Batu Menangis terjadi di suatu pasar yang berada di Kalimantan.

B.  Kajian Budaya Sumatera dalam Legenda Malin Kundang dan Budaya Kalimantan dalam Legenda Batu Menangis
Banyak kebudayaan yang mempunyai satu unsur kebudayaan atau beberapa pranata tertentu yang merupakan unsur pokok dalam kebudayaan mereka, sehingga unsur itu disukai oleh sebagian warga dari masyarakatnya, dan dengan demikian, mendominasi banyak kegiatan atau pranata lain dalam kehidupan masyarakat mereka (Fathoni, 2006: 38).  Malinowski menulis etnografi tentang kebudayaan penduduk Throbrind secara terintegrasi, dengan fokus terhadap kulak, maka seorang ahli antropologi misalnya dapat menyusun karangan etnografi yang holistik terintegrasi mengenai kebudayaan Bali, dengan memakai “kesenian” sebagai pangkal fokus. Demikian juga, karangan etnografi yang holistik mengenai kebudayaan “priyayi” di Jawa Tengah, misalnya dapat menggunakan fokus gerakan-gerakan kebatinan sebagai fokus (Fathoni, 2006: 39). Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka kami mencoba melakukan kajian sastra banding terhadap legenda Malin Kundang dan Batu Menangis dengan melihat dari sudut pandang budaya Sumatera dan Kalimantan berdasarkan kedua legenda tersebut.
Di dalam Legenda Malin Kundang misalnya, kebudayaan yang nampak pada legenda tersebut adalah kebudayaan merantau untuk mencaripenghidupan yang lebih layak melalui kebudayaan merantau yang masih berjalan sampai saat ini. Seperti yang telah kami bahas sebelumnya, bahwa kebudayaan merantau identik dengan anggota masyarakat Minangkabau.  Merantau  sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari masyarakat Minangkabau. Untuk lebih jelasnya, istilah merantau sendiri diartikan “migrasi”, akan tetapi “merantau” adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Barat manapun. Menurut Naim (2003: 3) merantau adalah istilah Melayu, Indonesia, dan Minangkabau yang sama arti dalam pemakaiannya dengan akar kata “rantau”. Rantau sendiri menurut Winsedt, Iskandar, dan Purwadarminta dalam Naim (2013:3) ialah kata benda yang berarti dataran rendah atau alirang sungai, jadi biasanya terletak dekat ke –atau bagian dari daerah pesisir, sedangkan merantau ialah kata kerja yang berawalan “me-“ yang berarti “pergi ke rantau”.
Bila dilihat dari sudut pandangh sosiologi, Naim (2013: 3) menyebutkan bahwa budaya merantau sedikitnya mengandung enam unsur pokok, antara lain:
(1)     meninggalkan kampung halaman;
(2)     dengan kemauan sendiri;
(3)     untuk jangka waktu lama atau tidak;
(4)     dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman;
(5)     biasanya dengan maksud kembali pulang;
(6)     merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Budaya merantau pun nampak dalam legenda Malin Kundang. Buktinya, Ayah Malin merantau untuk memenuhi kebutuhan hidup walaupun pada akhirnya ia tidak kembali. Ketika beranjak dewasa pun Malin juga pergi merantau. Tujuannya sama, yaitu untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Hal tersebut merupakan sebuah bukti yang cukup mendasari bahwa merantau mengandung unsur meninggalakan kampung halaman berdasarkan kemauannya sendiri yang bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak agar dapat kembali ke kampung halaman kelak sesuai dengan unsur yang disampaikan oleh Naim seperti dalam pembahasan di atas.
Apabila budaya Merantau nampak dalam legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat, berbeda dengan budaya yang nampak dalam legenda Batu Menangis dari Kalimantan. Di dalam legenda tersebut tidak nampak budaya merantau karena masyarakat kalimantan lebih senang memanfaatkan kekayaan alam yang ada dengan cara berdagang. Riwut (1993:7) mengungkapkan bahwa Kalimantan merupakan pulau terbesar di seluruh Indonesia, yang dilingkari oleh khatulistiwa atau ekuator, disamping terkenal dengan sungai-sungainya yang lebar, dalam dan panjang juga terkenal dengan hutannya yang lebat yang sebagian besar belum pernah diinjak oleh telapak kaki manusia. Tokoh Gadis dan Ibunya pun tinggal di bukit yang jauh dari desa atau bisa dikatakan hutan bukit-bukit. Untuk berbelanja harus ke pasar yang jauh dari tempat tinggalnya. Di desa tersebut, mayoritas masyarakatnya berdagang di pasar. Mereka memanfaatkan kekayaan alam di tanah Kalimantan yang hasilnya untuk dijual. Jadi, kebudayaan Kalimantan yang nampak dalam legenda Batu Menangis adalah kebudayaan Berdagang.

C.           Simpulan
Dalam legenda Malin Kundang dan legenda Batu Menangis memiliki beberapa kesamaan unsur-unsur intrinsik, salah satunya adalah persamaan tokoh-tokohnya, yaitu tokoh Malin dan Gadis yang sama-sama berasal dari keluarga yang miskin. Selain itu keduanya juga merupakan anak yang durhaka terhadap ibu kandungnya. Di akhir cerita keduanya dikutuk menjadi batu. Sedangkan kesamaan tokoh ibu, terletak pada perwatakannya. Tokoh ibu tersebut merupakan tokoh yang sabar dan menyayangi anaknya, namun karena kelakuan anaknya yang sangat keterlaluan maka sang ibu menjadi murka dan berdoa kepada Allah untuk menghukum anaknya menjadi batu.
Akan tetapi, keduanya juga memiliki perbedaan. Tokoh Malin saat dikutuk, tidak sempat meminta maaf pada ibunya sedangkan tokoh gadis masih sempat meminta maaf saat separuh tubuhnya berubah menjadi batu walaupun akhirnya sama-sama menjadi batu. Tokoh ibu dalam Legenda Malin Kundang meskipun hanya tinggal berdua bersama anaknya, namun dia bukan seorang janda. Sedangkan tokoh ibu pada legenda Malin Kundang merupakan seorang janda.
Dalam kajian kebudayaan, ditemukan kebudayaan Minangkabau yang nampak dalam Legenda Malin Kundang yaitu kebudayaan merantau yang dilakukan oleh anggota masyarakat suku Minang, dalam legenda Batu Menangis yang nampak adalah kebudayaan berdagang. Kebudayaan berdagang yang terdapat dalam legenda Batu Menangis juga nampak dalam legenda Malin Kundang akan tetapi, budaya merantau dalam legenda Malin Kundang tidak nampak dalam legenda Batu Menangis.

D.           Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan.Jakarta: Bukupop.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar.Jakarta: Rineka Cipta.

Hidayat, Kidh.1999. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan.

Idhank, Vieya. 2013. Legenda Malin Kundang. http://kisahlawas.blogspot.com/2013/04/legenda-malin-kundang.html. Diakses pada 18 Desember 2013.
Naim, Mochtar. 2013. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.




















LAMPIRAN

SINOPSIS LEGENDA MALIN KUNDANG
(Cerita Rakyat Sumatera)

Legenda Malin Kundang berasal dari provinsi Sumatera Barat tepatnya di suku Minangkabau. Konon ceritanya, pada jaman dulu di daerah tersebut ada keluarga yang sangat miskin. Hidupnya serba kekurangan. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, dan satu orang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Malin kecil adalah anak yang cukup cerdas, berbakti kepada ibunya walaupun agak nakal. Sejak kecil, ia sudah ditinggal merantau oleh ayahnya. Akan tetapi, sang ayah tidak pernah pulang lagi ke kampungnya dan tidak ada kabar sekali. Oleh karena itu, ibunya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya bersama Malin.
Saat menginjak dewasa, Malin pun memiliki inisiatif untuk pergi merantau sama seperti ayahnya agar ia menjadi kaya sehingga ibunya tidak perlu susah payah bekerja. Ia pun mengutarakan keinginannya kepada sang ibu, namun ibunya tidak setuju. Malin tidak putus asa dalam membujuk ibunya, lama-kelamaan ibunya pun luluh dan mengijinkan Malin untuk pergi merantau meski berat hati. Akhirnya, setelah hari itu tiba Malin berangkat merantau dengan menaiki kapal. Kepergian Malin diiringi tangisan dari ibunya karena sudah sejak kecil mereka tinggal bersama-sama dan ibunya takut jika Malin tidak pulang sama seperti ayahnya. Sebelum kapal melaju, Malin berjanji kalau ia sudah kaya nanti ia akan mengajak ibunya tinggal di kota bersamanya.
Kapal pun melaju, lama-kelamaan laju kapal tidak terlihat lagi dan ibu Malin berusaha untuk tetap tegar. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang ditumpangi Malin dihadang oleh bajak laut. Semua harta di kapal di rampas. Karena kecerdasannya, Malin pun bersembunyi di tempat yang dirasa aman sehingga ia tidak menjadi korban bajak laut. Kapal yang ditumpangi terdampar di sebuah pulau yang tanahnya cukup subur dan belum berpenduduk. Dengan kegigihan dan keuletannya, ia pun menggarap tanah tersebut hingga hasilnya melimpah ruah dan ia memiliki banyak anak buah. Tak hanya itu, ia pun kemudian menikahi seorang gadis cantik.
Pada suatu ketika, Malin dan istrinya beserta anak buahnya melakukan pelayaran ke sebuah kampung. Mereka berlayar menuju kampung asal Malin. Kedatangan Malin pun disambut suka cita oleh penduduk, tak terkecuali sang ibu. Ibunya merasa sangat merindukan Malin karena bertahun-tahun tidak berjumpa. Ia menunggu kedatangan kapal Malin di tepi pantai. Kapal yang ditunggu-tunggu pun semakin mendekat, ia semakin jelas melihat ada Malin di sana bersama seorang wanita dan anak buahnya yang sangat banyak.
Ibu Malin mendekat dan menangis melihat Malin yang begitu dirindukannya. Begitu yakin bahwa itu adalah Malin anaknya, sang ibu pun mencoba memeluk Malin. Akan tetapi, Malin tidak mau dipeluk oleh ibunya. Malin berkata kepada istrinya dan seluruh anak buahnya bahwa ia tidak mengenal wanita yang hendak memeluknya itu. Ibu malin menangis sejadi-jadinya dengan pernyataan Malin tersebut. ia merasa kecewa karena Malin telah berubah menjadi anak yang durhaka. Kekecewaan Ibu Malin semakin memuncak saat Malin mengatakan ke semua orang bahwa ia bukan ibunya melainkan adalah pengemis yang mengaku-ngaku sebagai ibunya karena Malin adalah saudagar yang sangat kaya. Karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit, akhirnya ibu Malin bersumpah bahwa jika benar lelaki sombong itu adalah Malin maka biarlah Tuhan mengutuknya menjadi batu. Doa sang ibu diijabah oleh Allah dan akhirnya pelan tapi pasti tubuh Malin berubah menjadi batu. Menurut kepercayaan penduduk setempat, cerita tersebut benar adanya dan batu Malin dapat ditemui di Pantai Air Manis Sumatera Barat.


























SINOPSIS LEGENDA BATU MENANGIS
(Cerita Rakyat Kalimantan)

Legenda Batu Menangis berasal dari provinsi Kalimantan. Konon katanya, pada jaman dulu kala di suatu tempat yang jauh dari perkotaan tinggal seorang anak gadis yang sangat cantik dan ibunya yang sudah tua. Gadis tersebut hobi berdandan untuk menarik perhatian pemuda desa. Ia senang sekali menggunakan pakaian yang mewah, padahal hidupnya miskin dan pakaian ibunya pun compang-camping tak layak pakai. Gadis tersebut sangat malas, ia tidak sudi membantu ibunya di rumah. Setiap hari hanya berdandan, berdandan, dan berdandan. Ayahnya sudah lama meninggal sehingga ibunya sendirilah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Pada suatu hari, ibunya mengajak anak gadisnya untuk berbelanja ke pasar yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sang anak bejalan di depan ibunya. Sepanjang perjalanan, gadis tersebut memamerkan keindahan bajunya dan kecantikannya. Para pedagang dan masyarakat pun terpukau oleh kecantikannya. Akan tetapi, karena sang gadis berjalan bersama ibu-ibu tua yang berpakaian compang-camping, maka banyak yang penasaran perihal siapa orangtua tersebut.
Dalam perjalanan, banyak pemuda desa yang bertanya kepada gadis tersebut tentang identitas ibu tua tersebut. Gadis tersebut menjawab bahwa ibu tua itu adalah pembantunya. Ibunya pun senantiasa sabar dan tidak marah pada anaknya. Setelah melanjutkan perjalanan, ada beberapa pemuda yang menanyakan hal yang sama dan tetap sang gadis menjawab bahwa itu adalah pembantunya. Selang beberapa lama, ada pemuda lagi yang menanyakan hal yang sama lagi. Akan tetapi, sang gadis menjawab bahwa ibu tua yang sebenarnya ibu kandungnya itu adalah budaknya.
Setelah berkali-kali ibunya dianggap pembantu dan budak anaknya sendiri maka sang ibu tak mampu lagi menahan kesabaran. Tak disangka-sangka, sang ibu berdoa kepada Tuhan dan mengutuk anaknya agar ia menjadi batu. Saat sumpah itu terucap, langit tiba-tiba mendung dan terdengar suara petir, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka tersebut berubah menjadi batu. Saat setengah tubuhnya berubah menjadi batu, gadis tersebut menangis memohon ampun namun sudah terlambat. Seluruh tubuhnya berubah menjadi batu, dan patung tersebut mengeluarkan air mata sehingga oleh masyarakat sekitar disebut Batu Menangis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar